BUKAN presiden atau raja dari negara lain yang menjadi tamu pertama Indonesia, setelah merdeka 17 Agustus 1945 lewat pembacaan proklamasi oleh Ir Soekarno.
Tamu itu datang bukan dengan pesawat kenegaraan dan mobil mewah. Tamu itu datang dengan parasut usai terjun payung dan mendarat di lapangan terbang Kemayoran, Jakarta.
Pada 8 September 1945, datang tujuh sosok berbadan tegap dari Inggris sebagai orang asing pertama yang menginjakkan kaki di Jakarta dengan kepentingan tertentu.
Dikutip dari buku ‘British Military Administration in the Far East’ karya F.SV. Donnison, mendaratlah tujuh perwira intel pasukan sekutu yang dikomando Mayor A.G. Greenhalgh dengan parasut yang dikirim SEAC (South East Asia Command), 8 September 1945.
Mereka yang datang dari Singapura, dikirim komandan tertinggi SEAC, Laksamana Lort Louis Mountbatten, untuk mencari info tentang apa yang terjadi di Hindia-Belanda (sebutan Indonesia masa itu), pasca-Jepang menyerah pada sekutu di Perang Pasifik.
Pencarian informasi itu mereka dapati juga bukan lewat Soekarno, Mohammad Hatta maupun tokoh nasional lainnya. Melainkan dari Gunseikan, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto.
Sekutu baru bisa mendarat di Indonesia pada pertengahan September, lantaran mesti menunggu penyerahan resmi Jepang dirampungkan di Teluk Tokyo, 2 September 1945.
Baru pada 16 September (di literatur lain ada yang menyebut 15 September), datang Armada Kelima Angkatan Laut Inggris di Tanjung Priok pada pukul 10 pagi yang dibawahi Laksamana Wilfried R Patterson dengan kapal perang HMS Cumberland.
Follow Berita Okezone di Google News
Sementara pasukan darat Inggris dikomando Letjen Sir Phillip Christison yang membawa Divisi Kelima, 23 dan 26 India. Mereka mengemban tugas utama melucuti senjata Jepang, mengurus tawanan Jepang dan para interniran, serta memelihara keamanan dan ketertiban Hindia-Belanda.
Semua rombongan sekutu itu disebut Allied Force Netherland East Indies (AFNEI). Christison sendiri datang tidak bersamaan dengan pasukannya itu, melainkan mendarat di Kemayoran dengan pesawat pembom B-25 Mitchell.
Sementara selain di Jakarta, Inggris juga mendaratkan bala tentaranya di Surabaya yang dibawahi Mayjen EC Mansergh, serta di Medan dan Padang yang dipimpin Mayjen HM Chambers.
Tapi Inggris tidak datang sendiri. Ya, kedatangan mereka diboncengi NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang diwakili mantan Gubernur Jenderal Jawa Timur, Dr CHO van der Plas dan Jenderal Ludolph Hendrik van Oyen.
Kedua perwira tinggi sekutu itu (Patterson dan Christison) dipercaya Mountbatten untuk menghindari konflik terbuka dengan republik yang baru lahir. Pun begitu, Mountbatten seakan lepas tangan dengan apa yang hendak dilakukan NICA di Hindia-Belanda.
Kedatangan dua perwakilan NICA itu juga awalnya mencari informasi tentang bekas jajahan mereka yang sempat dirampas Dai Nippon pada permulaan Perang Pasifik. Tapi keduanya memberi laporan yang ‘ngawur’ kepada Mountbatten.
Betapa tidak, dalam buku ‘Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati’, Van der Plas menyebutkan Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan atas pemberian Jepang.
Disebutkan Van der Plas, Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan perwira tinggi Teikoku Rikugun (AD Jepang) Mayjen Yamamoto, bukan Soekarno! Namun Mountbatten tak menelan mentah-mentah informasi itu.
Laporan lain yang lebih obyektif juga dipertimbangkan Mountbatten, seperti laporan dari perwira penghubung Belanda, Overste (Letkol) Laurens van der Post dan Overste Maisy, mantan interniran di Jakarta dan Wing Commander Davis, mantan tawanan Jepang di Tokyo.
Di sisi lain, kendati Mountbatten ingin menghindari konflik, tapi tetap saja terjadi sejumlah insiden, bahkan berujung pertempuran dengan elemen militer republik yang masih bayi ini.
Sebut saja pecahnya Palagan Ambarawa (20 Oktober 1945), Pertempuran Surabaya (10 November 1945), Palagan Bojong Kokosan (9 Desember 1945), Pertempuran Bogor (25 Desember 1945), hingga Bandung Lautan Api (23 Maret 1946).
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.