YOGYAKARTA - Serangan Oemoem 1 Maret (SO 1 Maret) 1949, jadi salah satu momen penting perjuangan Indonesia. Serangan yang hanya berdurasi sekira enam jam itu, para kombatan revolusi membuktikan pada dunia, bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih eksis.
Sebelumnya lewat Agresi Militer kedua Belanda dengan kode “Operatie Kraai” berhasil merebut Ibu Kota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta, Belanda mempropagandakan bahwa kekuatan militer Indonesia sudah habis.
BACA JUGA:Rumah TKP Pembunuhan Dua Wanita di Cor di Bekasi Dipasang Garis Polisi
Terlepas dari propaganda dan jalannya SO 1 Maret 1949 itu, perdebatan tentang siapa yang mengarsiteki serangan itu sempat muncul. Di satu sisi, Overste (Letkol) Soeharto yang menanjak namanya sebagai perancangnya.
Tapi di sisi lain disebutkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) lah yang merencanakannya. Soal peran HB IX, tertuang dalam buku ‘Apa Yang Masih Teringat’ karya wartawan Manai Sophiaan.
BACA JUGA:Linda: Saya Istri Sirinya Teddy Minahasa!
Namun Mayor Jenderal Gusti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo bereaksi sebaliknya. Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pertama yang diangkat 14 Mei dan diresmikan 15 Mei 1948 itu menyokong penyebutan nama Overste Soeharto sebagai perancang SO 1 Maret.
Salah satu bangsawan Keraton Solo yang ketika itu membawahi Komando Sektor 041 Yogyakarta Utara dan Timur, meragukan peran HB IX, untuk bisa mengarsiteki suatu manuver atau pun serangan militer.
“Bagaimana mungkin HB IX bisa merancang serangan itu? Dari mana dan kapan beliau belajar ilmu ketentaraan?” cetus Djatikusumo dalam buku ‘Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX’.
Follow Berita Okezone di Google News
Sementara terkait keraguan atas peran Soeharto, pernah disampaikan mantan Wali Kota Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Harjo (KPH) Soedarisman. Namun pernyataan itu langsung pula ditanggapi Soeharto ketika sudah menjabat Presiden RI kedua 1985 lalu.
“(Apakah Soedarisman) tidak percaya jika inisiatifnya seorang Komandan Brigade (Soeharto)? Tanyakan saja pada yang masih hidup. Sebab Pak Dirman (Jenderal Soedirman) dan Bambang Soegeng sudah meninggal,” timpal Soeharto dalam buku yang sama.
“Yang masih hidup kan Jenderal (Abdoel Haris) Nasution dan Sri Sultan (HB IX). Kalau dia (Soedarisman) ragu bahwa inisiatifnya dari seorang Komandan Brigade, tanyakan pada yang bersangkutan, yang masih hidup. Apakah pernah memberi komando Serangan Umum 1 Maret atau tidak,” tandasnya.
Perdebatan ini juga turut ditanggapi aktivis penggiat sejarah Djokjakarta 45, Eko Isdianto, bahwa soal perancang serangan, mungkin Sultan HB IX memang tak punya pengalaman militer. Tapi kalau soal ide masih terbilang diragukan, antara Sultan HB IX atau Soeharto.
“Masih (diragukan) soal ide. Ide untuk mengadakan serangan serentak. Waktu itu, hanya radio milik Sultan di Keraton yang enggak di-sweeping (Belanda) dan radio itu bisa menjangkau siaran-siaran luar negeri,” papar Eko kepada Okezone.
“Nah, dari siaran-siaran propaganda Belanda, mereka menganggap serangan yang dilakukan (pejuang) dilakukan oleh ekstremis dan rampok. Dari radio itu Sultan juga mengetahui rencana kedatangan staf PBB yang akan datang pada akhir Februari sampai awal Maret (1949),” tambahnya.
“Sultan kemudian menitipkan surat yang isinya perlu diadakan serangan serentak umum dan menyeluruh ke Yogyakarta ke Pak Dirman yang berada di Sobo, Pacitan, lewat dokter pribadi Pak Dirman, Dr. Hutagalung. Kemudian perencanaan matang dilakukan Kolonel Bambang Soegeng, Hutagalung, Bupati Wonosobo dan Banyumas,” tandas Eko.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.