Share

Cerita Jenderal Anak Penumpas PKI Disiksa Bak Tawanan Perang untuk Dapatkan Baret Kopassus

Fahmi Firdaus , Okezone · Kamis 09 Februari 2023 05:30 WIB
https: img.okezone.com content 2023 02 08 337 2761470 cerita-jenderal-anak-penumpas-pki-disiksa-bak-tawanan-perang-untuk-dapatkan-baret-kopassus-zj45FCVLIV.jpg Pramono Edhie Wibowo/Foto: Antara

JAKARTA - Sarwo Edhie Wibowo merupakan tokoh militer yang dikenal saat penumpasan Gerakan 30 S/PKI. Saat itu, ia menjabat sebagai Komandan RPKAD (kini Kopassus). Hal inilah yang mendorong anaknya, Pramono Edhie Wibowo memutuskan untuk menjadi pasukan baret merah, Kopassus mengikuti jejak sang ayah.

Pramono Edhie pun membeberkan pengalamannya saat mengikuti seleksi masuk prajurit Kopassus yang dikenal memiliki kemampuan di atas rata-rata.

(Baca juga: Jenderal Kopassus Terjun Langsung Selamatkan Pilot Susi Air dan 15 Pekerja yang Disandera KKB)

Semua prajurit baret merah mempunyai kemampuan khusus gerak cepat dalam setiap medan, menembak cepat, pengintaian dan anti-teror. Mereka dilatih untuk bisa menguasai kemampuan darat, laut serta udara.

Selepas menempuh pendidikan dari Lembah Tidar tahun 1980, Pramono Edhi mengikuti seleksi prajurit Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), cikal bakal korps baret merah, Kopassus.

Sebagai calon prajurit baret merah, Pramono Edhie harus melalui Tahap Basis di Pusat Pendidikan Pelatihan Khusus, Batujajar, Bandung. Tahapan tersebut berupa keterampilan dasar, seperti menembak, teknik dan taktik tempur, operasi raid, perebutan cepat, serangan unit komando, dan navigasi darat.

Setelah Tahap Basis, dia berlanjut mengikuti Tahapan Hutan Gunung hutan kawasan Citatah, Bandung. Disana dia digembleng untuk menjadi pendaki serbu, penjejakan dan survival di tengah hutan. Tahapan tersebut diakhiri dengan berjalan kaki ke Situ Lembang-Cilacap dengan membawa sejumlah amunisi dan peralatan yang beratnya bisa mencapai belasan kilogram.

Sampai di Cilacap, prajurit kembali mendapat latihan yang cukup berat, yaitu Tahap Rawa Laut atau kemampuan berinfiltrasi melalui rawa laut.

Follow Berita Okezone di Google News

"Latihan di Nusakambangan ini merupakan latihan tahap akhir, tak heran bila disebut Hell Week atau Minggu Neraka," ujar Pramono Edhie dikutip dari buku Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan.

Calon prajurit komando mendapatkan materi navigasi laut, survival laut, pelolosan, renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet. Calon prajurit komando harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.

Siswa juga dilepas sejak pagi hari tanpa bekal, dan harus sampai di suatu titik pada pukul 10 malam. Mereka juga harus menghindari segala rintangan alam maupun tembakan musuh selama dalam tahap pelolosan.

Namun jika tertangkap, prajurit akan mendapat interogasi dan siksaan layaknya dalam medan perang sungguhan. Prajurit juga tak boleh membocorkan informasi meski mendapatkan siksaan fisik oleh selama tiga hari.

“Dalam Konvensi Jenewa, semua tawanan perang dilarang untuk disiksa, namun para calon prajurit Komando itu dilatih menghadapi semua hal terburuk di medan operasi,” tulis Pramono Edhie.

Begitu berat syarat dan tes menjadi prajurit komando, sehingga tak sembarang prajurit mampu mencapai nilai standar yang telah ditetapkan, seperti standar fisik 61, tes psikologis prajurit bernilai 70, dan kemampuan menembak dan berenang tanpa henti sejauh 2.000 meter. “Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando,” tutupnya.

1
3
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini