JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana UI Harkristuti Harkrisnowo memaparkan, perbedaan mencolok antara KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) nasional dengan KUHP peninggalan Belanda misalnya pada pidana Perzinaan dan Kohabitasi, di mana dalam KUHP lama hal-hal semacam itu berlawanan dengan kultur dan budaya yang tertanam di masyarakat Bangsa Indonesia.
"Pada pasal Perzinahan dan Kohabitasi, ada sebagian kalangan yang menganggap ini sebagai ranah privasi, sehingga seharusnya negara tidak ikut campur,”ujarnya dalam acara Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Rabu (1/2/2023).
(Baca juga: KUHP yang Baru Masih Terdapat Hukum Pidana Adat, Masyarakat Tak Perlu Resah)
“Yang dilupakan bahwa kita bukan negara Barat, di mana nilai-nilai semacam itu masih ada, hidup dan dipertahankan oleh masyarakat," sambung Harkristuti.
Dalam KUHP baru kata dia yang tak kalah penting untuk disosialisasikan ke masyarakat adalah Pasal 218 Tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Pasal 240 Tentang Penghinaan Pemerintah atau Lembaga Negara.
Pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti demokrasi diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan. Perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).
"Penting dijelaskan bahwa pasal tentang penghinaan Presiden itu bukan untuk membungkam. Karena pidana ini memiliki persyaratan. Kritik tidak apa-apa, tapi apabila penghinaan, pencemaran nama baik, itu yang dilarang," jelas Harkristuti.
Pembicara lain, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Topo Santoso menambahkan, para perumus KUHP nasional berhasil memperbaiki tujuan pemidanaan, dari sekadar untuk menghukum atau membalas para pelaku pada KUHP lama.
Follow Berita Okezone di Google News