Share

Guru Besar UI Nilai KUHP Baru Sesuai Kepribadian dan Cerminan Jati Diri Bangsa

Rafika Putri, Okezone · Rabu 01 Februari 2023 23:18 WIB
https: img.okezone.com content 2023 02 01 337 2757445 guru-besar-ui-nilai-kuhp-baru-sesuai-kepribadian-dan-cerminan-jati-diri-bangsa-wOb771YenV.jpg Illustrasi freepik

JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana UI Harkristuti Harkrisnowo memaparkan, perbedaan mencolok antara KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) nasional dengan KUHP peninggalan Belanda misalnya pada pidana Perzinaan dan Kohabitasi, di mana dalam KUHP lama hal-hal semacam itu berlawanan dengan kultur dan budaya yang tertanam di masyarakat Bangsa Indonesia.

"Pada pasal Perzinahan dan Kohabitasi, ada sebagian kalangan yang menganggap ini sebagai ranah privasi, sehingga seharusnya negara tidak ikut campur,”ujarnya dalam acara Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Rabu (1/2/2023).

(Baca juga: KUHP yang Baru Masih Terdapat Hukum Pidana Adat, Masyarakat Tak Perlu Resah)

“Yang dilupakan bahwa kita bukan negara Barat, di mana nilai-nilai semacam itu masih ada, hidup dan dipertahankan oleh masyarakat," sambung Harkristuti.

Dalam KUHP baru kata dia yang tak kalah penting untuk disosialisasikan ke masyarakat adalah Pasal 218 Tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Pasal 240 Tentang Penghinaan Pemerintah atau Lembaga Negara.

ist

Pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti demokrasi diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan. Perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).

"Penting dijelaskan bahwa pasal tentang penghinaan Presiden itu bukan untuk membungkam. Karena pidana ini memiliki persyaratan. Kritik tidak apa-apa, tapi apabila penghinaan, pencemaran nama baik, itu yang dilarang," jelas Harkristuti.

Pembicara lain, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Topo Santoso menambahkan, para perumus KUHP nasional berhasil memperbaiki tujuan pemidanaan, dari sekadar untuk menghukum atau membalas para pelaku pada KUHP lama.

Follow Berita Okezone di Google News

"Dalam pemidanaan, pendekatan utama KUHP nasional bukan falsafah retributif, tetapi tujuannya ditegaskan untuk preventif, kemudian untuk menghindari konflik, untuk memulihkan keseimbangan. Itu hal-hal yang khas Indonesia dan tidak ada di KUHP lama," ujar Topo.

KUHP nasional juga lebih komprehensif karena banyak memperbaiki kekurangan KUHP kolonial. Ini ditandai dengan lebih banyaknya pasal KUHP baru yang diundangkan sebagai UU No 1/ 2023 ini. Yaitu, terdiri dari 37 Bab, 624 Pasal dan 345 halaman; dan terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelasan.

"Intinya, perbedaan utama antara KUHP nasional dengan KUHP lama adalah perbedaan-perbedaan prinsip dan sangat fundamental, baik mengenai tindak pidana, mengenai pertanggungjawaban pidana, mengenai pemidanaan dan tindakan. Ada banyak perbedaannya, juga perbedaan buku KUHP nasional dengan yang lama. KUHP Nasional hanya dua buku mengikuti satu aturan umum tindak pidana, kalau yang lama ada tiga buku," tutup Topo.

1
2
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini