JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, dengan terdakwa Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi alias Apeng dan mantan Bupati Inhu, Raja Thamsir Rahman.
Agenda persidangan masih mendengarkan pendapat para ahli. Salah satu ahli yang dihadirkan pada sidang kali ini yaitu, Pakar Hukum Keuangan Negara dari Universitas Indonesia (UI), Dian Puji Simatupang. Dalam persidangan, Dian menjelaskan ihwal indikator penentu yang bisa dijadikan dasar untuk menghitung kerugian negara.
Mengacu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, Dian mengatakan, faktor penentuan kerugian negara sudah terinci dengan jelas. Salah satunya, jumlah kerugian negara harus pasti dan tidak imajiner. Hal tersebut merujuk Pasal 1 angka 22 UU 1 Tahun 2004. Dalam Pasal tersebut disebutkan, kerugian negara merupakan kekurangan uang, surat berharga atau barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian.
"Arti dari kekurangan yang nyata itu ya betul-betul merupakan milik negara didasarkan nilai buku laporan uang, surat berharga atau barang milik negara, (kemudian) dibuktikan dengan dokumennya. Sedangkan arti pasti, artinya jumlahnya pasti, harus terukur pasti. Didasari dari nilai buku, bukan asumsi, prediksi atau imajinasi," kata Dian dikutip Jumat (27/1/2023)
BACA JUGA:Surya Darmadi Didakwa Cuci Uang Hasil Korupsi Lahan Sawit
Dian juga menjelaskan bahwa total lost berdasarkan Putusan MK 25/2016, tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.
Ditekankannya, dalam Pasal 39 PP itu, penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis.
"(Jadi) untuk mengetahui maksud nyata dan pasti kita baca di pasal 39 PP Nomor 38 tahun 2016, maknanya adalah nilai buku, dokumen-dokumen atau pada nilai nyata yang wajar. Sehingga tidak didasari persepsi, tapi harus betul-betul nilai yang nyata yang pasti tadi,” ujarnya.
BACA JUGA:Korupsi Lahan Sawit, Surya Darmadi Didakwa Rugikan Negara Triliunan Rupiah
Dian mengakui, memang terdapat Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang ditugaskan untuk melakukan penghitungan kerugian negara. Tetapi, dalam perkembangannya, Pasal 20 UU 30 tahun 2014 juga menyebutkan jika kerugian negara diakibatkan kesalahan administrasi atau menerbitkan suatu tindakan administrasi, maka menjadi kewenangan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
“Pasal 20 ayat 1 menyatakan APIP lah yang menyatakan menilai dan menghitung kerugian negara tersebut. Supaya, Yang Mulia, dapat dikembalikan selama 10 hari kerja,” kata Dian.
Follow Berita Okezone di Google News
Dilanjutkannya, berkaitan dengan tindakan-tindakan administrasi keseluruhan berkaitan dengan adanya UU Cipta Kerja, Majelis, mungkin belum disosialisasikan, adanya Pasal 314 PP 5 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kegiatan berusaha berbasis resiko, menyatakan kalau di dalam sektor-sektor yang menjadi dasar perizinan itu muncul kerugian negara maka APIP harus lebih dahulu menilai dan menghitungnya.
“Bahkan disitu dinyatakan APH, Kejaksaan Agung, Kepolisian, KPK harus mendahulukan proses administrasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Prof. I Gde Pantja Astawa, meminta agar UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak dijadikan sebagai UU 'sapu jagat' dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karenanya, perlu dipastikan fakta-fakta bahwa perkara yang ditangani oleh aparat penegak hukum masuk ke ranah tindak pidana korupsi.
"Jadi dalam UU Tipikor pasal 14 secara eksplisit dikatakan, bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU tersebut harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat," tegasnya.
Dijelaskannya, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran tersebut harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor. Jika tidak maka pelanggaran tersebut harus diselesaikan sesuai ketentuan di dalam UU tersebut.
"Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korpusi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan," jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung tersebut.
Untuk diketahui, Bos PT Duta Palma, Surya Darmadi alias Apeng didakwa oleh tim jaksa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan 7.885.857 dolar AS serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun).
Kerugian keuangan dan perekonomian negara itu akibat dugaan korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apeng didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan mantan Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman.
Jaksa membeberkan, Surya Darmadi diduga telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp7.593.068.204.327 (Rp7 triliun) dan 7.885.857 dolar AS sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penghitungan kerugian negara itu merupakan Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03/SR/657/D5/01/2022 tanggal 25 Agustus 2022.
Sedangkan kerugian perekonomian negara akibat korupsi Surya Darmadi, sambung jaksa, mengacu pada Laporan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) tanggal 24 Agustus 2022.
Tak hanya itu, Surya Darmadi juga didakwa telah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Surya Darmadi didakwa mencuci uang hasil korupsi lahan sawit ke sejumlah aset maupun transfer ke berbagai pihak.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.