JAKARTA – Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan prajurit yang mampu menguasai berbagai macam taktik dan teknik ilmu perang khusus. Mereka senyap bergerak dan secara cepat di berbagai medan, baik itu darat, laut maupun udara.
Sebagai bagian dari pasukan elite TNI AD, Prajurit Kopassus sudah banyak menjalani berbagai palagan atau pertempuran berbahaya. Tentunya, banyak cerita yang hadir dari berbagai medan pertempuran tersebut.
(Baca juga: 5 Anggota Pasukan Elite yang Menolak Kenaikan Pangkat Usai Sikat KKB di Belantara Papua)
Salah satunya yang dikisahkan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso melalui buku yang ditulisnya yaitu The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando”,
Saat pertama kali diterima menjadi perwira pasukan Para Komando, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1968 itu baru berpangkat Letnan Dua (Letda) mendapat tugas BKO ke Yonif 323 Banjar Patronan.
Sutiyoso langsung diterjunkan dalam operasi penumpasan pemberontak Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di pedalaman belantara hutan Kalimantan sebagai Komandan Pleton (Danton) combat intelligence atau intelijen tempur.
PGRS/Paraku merupakan kelompok bersenjata yang pada awalnya dibina dan dilatih TNI saat konfrontasi dengan Malaysia pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun, perubahan kepemimpinan nasional dan membaiknya hubungan Indonesia-Malaysia membuat konfrontasi kedua negara tersebut berakhir.
Kelompok yang berafiliasi dengan komunis ini masih tetap mengangkat senjata dan melakukan perlawanan. Hal ini membuat TNI terpaksa meredam perlawanan kelompok bersenjata ini dengan mengerahkan Kopassus.
Kala itu, dirinya berangkat dengan kapal laut menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Setelah tiba di Pontianak, Sutiyoso melanjutkan perjalanan ke daerah pedalaman perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak Malaysia.
Sutiyoso harus menyusuri Sungai Kapuas yang tidak semua aliran sungainya bisa dilalui dengan perahu badung-badung. Tak ayal, untuk mencapai daerah operasi, Sutiyoso dan pasukannya harus menempuh perjalanan darat dengan berjalanan kaki berkilo-kilometer.
Bahkan dia sempat menginap di rumah penduduk setempat yang merupakan suku Dayak, sebelum menuju titik sasaran. Di rumah adat Betang yang berukuran panjang ini terdiri dari petak-petak di mana setiap ruangan diisi masing-masing keluarga.
Di bagian depan dan bawah rumah terdapat kandang anjing, kambing, ayam dan hewan ternak lainnya. Di kandang hewan peliharaan ini, Sutiyoso bersama pasukannya tidur.
Sutiyoso dan pasukannya tidak mau mengambil risiko dengan tidur di luar rumah lantaran rawan penyergapan oleh pihak musuh. Sutiyoso dan anggotanya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah sasaran. Setelah berjalan selama dua hari, dua malam menembus lebatnya hutan Kalimantan, Sutiyoso akhirnya tiba di daerah operasi.
Saat tiba di daerah operasi, pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah 6 Desember 1944 ini pun dengan cermat membaca potensi ancaman. Dia memutuskan untuk menerapkan strategi antigerilya. Hal itu dilakukan mengingat musuh yang dihadapi melakukan perlawanan secara gerilya dan sangat menguasai medan pertempuran.
Follow Berita Okezone di Google News