JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia mengungkapkan hasil temuan awal pemantauan sidang di Pengadilan Militer III-19 Jayapura terkait kasus pembunuhan dan mutilasi 4 warga yang melibatkan anggota TNI di Kabupaten Mimika.
"Pada 2 November 2022, Komnas HAM RI telah menyelesaikan laporan akhir pemantauan dan penyelidikan atas peristiwa pembunuhan dan mutilasi 4 warga yang melibatkan oknum anggota Brigif R/20/IJK/3 di Kabupaten Mimika dan juga telah menyampaikan rekomendasi kepada TNI terkait tindak lanjut penanganan peristiwa tersebut," kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam keterangannya, Sabtu (21/1/2023).
Berdasarkan hal tersebut, dan dalam rangka melaksanakan fungsi pemantauan dan penyelidikan, sesuai amanat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan sebagai bentuk respon cepat, Komnas HAM RI melalui Kantor Perwakilan Provinsi Papua terus melakukan serangkaian proses pemantauan persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika yang digelar dalam tiga persidangan terpisah di PM III-19 Jayapura pada 10, 19 dan 20 Januari 2023.
Baca juga:Â Komnas HAM Sebut KPK Beri Pelayanan Terbaik untuk Kesehatan Lukas Enembe
Ketiga sidang itu yakni sidang perkara nomor 404-K/PM.III-19/AD/XII/2022 menghadirkan 4 orang terdakwa Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktav Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman dan Praka Pargo Rumbouw, dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.
Baca juga:Â Jokowi Terima Anggota Komnas HAM, Ini Poin-Poin yang Dibahas
Lalu, sidang perkara nomor 395-K/PM.III-19/AD/XI/2022 menghadirkan 1 orang terdakwa, Pratu Rahmat Amin Sese, terkait kepemilikan dan penyalahgunaan senjata api ilegal dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. Dan sidang perkara nomor 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 menghadirkan 1 orang terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, dengan agenda pembacaan tuntutan.
Follow Berita Okezone di Google News
Atnike mengungkapkan bahwa dalam temuan hasil pemantauan sidang tersebut, didapati bahwa Sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI.
"Namun, proses persidangan tidak berjalan dengan efektif karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan," kata Atnike.
Atnike mengungkapkan minim kesiapan itu antara lain jadwal sidang yang tidak jelas dan kurang transparan (tidak sesuai dengan jadwal yang tertera di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara/SIPP) menyebabkan keluarga korban kesulitan untuk mengetahui jadwal pasti guna mengikuti dan memastikan seluruh tahapan persidangan berjalan dengan baik.
Lalu pemeriksaan saksi pelaku sipil yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung.
"Pemeriksaan barang bukti dilakukan secara daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. (Dan)Ruang sidang kurang proposional untukmengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengikuti proses persidangan (jumlah pengunjung sidang sekitar 50- 100 orang), khususnya bagi lansia dan kelompok rentan yang terpaksa berdiri di luar ruangan," ungkapnya.
Atnike juga menilai, proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.
Selain itu, kata Atnike, proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI.
"Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika," katanya.
Atnike juga mengungkapkan bahwa keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan premier, Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair, sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.
Hal itupun berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali.
"Keluarga korban dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan maraton, padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detil. (Dan) Keluarga korban menyampaikan bahwa mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan kasus ini berlangsung," jelasnya.
Atas temuan awal hasil pemantauan sidang di Pengadilan Militer III/19 Jayapura, Komnas HAM pun mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial sesuai dengan prinsip persidangan yang adil (fair trial) menurut UU HAM dan Konvenan Hak Sipil dan Politik.
"Komnas HAM RI meminta Panglima TNI untuk melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum agar berjalan efektif dan akuntabel," kata Atnike.
Komnas HAM, kata Atnike, juga meminta Mahkamah Agung RI untuk pengawasan terhadap perangkat peradilan yang menyidangkan terdakwa anggota militer maupun sipil agar proses peradilan dan penegakan hukumnya berjalan efektif dan akuntabel.
Tidak hanya itu, Komnas HAM RI juga meminta LPSK untuk memberikan perlindungan serta pemulihan bagi keluarga para korban.
"Komnas HAM RI juga menghimbau kepada masyarakat untuk mendukung kelancaran proses persidangan agar proses persidangan dapat berjalan dengan baik," kata Atnike.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.