Betapa tidak, Wismoyo dilahirkan dari keluarga sederhana. Dia harus menjalani kerasnya kehidupan di zaman revolusi kemerdekaan. Bersama kedua orangtuanya, Wismoyo yang masih berusia 7 tahun harus mengungsi ke daerah yang lebih aman selama 1,5 tahun.
Dalam pengungsian itu, Wismoyo muda mengisi hari-harinya dengan mengembala kambing. Kehidupan keras Wismoyo sebagai anak kampung justru membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang berani, bernyali besar, loyal, dan bertanggungjawab.
Wismoyo muda kerap menjadi tameng teman-temannya yang lemah. Dia selalu siap pasang badan dalam membela temannya. Tak hanya itu, pria berbadan tegap ini kerap dimintai bantuan oleh kakak-kakaknya jika berkelahi dengan orang lain.
“Kehidupan saya keras, seperti kehidupan gembala kambing, berkelahi dan kasar,” kenang Wismoyo dalam buku biografinya berjudul “Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar: Sosok Prajurit Sejati” yang diterbitkan Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarahad) dikutip dari SINDOnews, Rabu (22/12/2022).
Saat SD, Wismoyo sudah dikenal akan keberanian, disiplin, dan sifat kerasnya. Putra bungsu dari enam bersaudara pasangan R. Arismunandar dan Ny. Sri Wuryan itu pun melanjutkan pendidikannya di SMP di Kota Semarang pada 1954. Kepindahannya ke Semarang karena mengikuti ayahnya yang dipindah daerah tersebut.
Wismoyo juga termasuk murid yang cerdas, berwibawa, dan juga disegani teman-temannya di sekolah itu.Â
Di jenjang pendidikan ini, ada kenangan yang tidak pernah bisa dilupakan Wismoyo yakni, menjadi makelar karcis bioskop. Kebetulan letak bioskop tidak jauh dari rumahnya tinggalnya.
Pekerjaan ini dilakoninya selepas pulang sekolah untuk menambah uang jajan. Kala itu, Wismoyo diangkat sebagai komandan makelar karcis oleh teman-temannya lantaran dirinya kerap berkelahi dengan pembeli karcis yang merasa keberatan dengan harga karcis yang mahal.Â
Wismoyo pun melanjutkan pendidikannya di SMAN 1 Semarang. Kedua orang tua Wismoyo selalu menekankan pentingnya pendidikan. Di sekolah ini, karakter dan kepribadian Wismoyo semakin matang sebagai sosok yang berani, bertanggung jawab, disiplin, dan pekerja keras.
Pada 1960, setelah lulus SMA Wismoyo memutuskan masuk tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya yang juga seorang tentara Bambang Sugeng. Dia merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-3 saat tengah bergerilya melawan Belanda.Â
Kenangan itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer. Takatnya bulat, semangatnya pantang menyerah sehingga tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika mengetahui ada pengumuman pendaftaran masuk taruna Akademi Militer Nasional (AMN) sekarang bernama Akademi Militer (Akmil) di Magelang.
Saat tes masuk menjadi taruna, Wismoyo kembali menunjukkan keberaniannya. Ketika itu, kepala Wismoyo dipegang oleh salah satu panitia seleksi bernama Mayor Usman Rahman. Tak terima dengan perlakuan itu, Wismoyo marah dan menghalangi langkah Mayor Usman.Â
“Mayor jangan pegang-pegang kepala saya,” katanya dengan suara tegas. Setelah berhasil melewati semua tes, Wismoyo dinyatakan lulus sebagai taruna. Bersama dengan taruna lainnya, Wismoyo pun digembleng dengan keras di lembah Tidar.Â
Lalu jalan hidup pria kelahiran Bondowoso, 10 Februari 1940, berubah setelah masuk tentara.
Lulus AMN 1960 dengan pangkat Letnan Dua (Letda), Wismoyo langsung bergabung dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang saat itu masih bernama Kopassandha, pasukan elite TNI Angkatan Darat (AD). Belum lama bergabung dengan Kopassandha, Wismoyo langsung mendapat tugas menumpas pemberontakan bersenjata DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan yang dilanjutkan dengan menumpas G30S/PKI di sejumlah daerah.
Keberhasilannya di medan operasi, membuat Wismoyo diangkat menjadi Komandan Pengawal Pribadi (Danwalpri) Presiden Soeharto. Sebuah tugas yang hanya diberikan kepada prajurit-prajurit pilihan. Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan presiden dan keluarganya.Â
Karenanya, dalam melaksanakan tugas pengamanan, Wismoyo selalu melekat di mana pun Presiden Soeharto berada. Setahun menjadi pengawal pribadi, Wismoyo kembali ke Kopassus menjadi Komandan Kompi Group 4 Kopassus. Selanjutnya, diangkat menjadi Danki 5 Group 4.Â
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Kemudian, menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia.
Karier moncer Wismoyo terus menanjak, setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dan Sesko ABRI, Wismoyo kemudian menduduki sejumlah jabatan strategis hingga diangkat menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassandha ke-9 pada 1983.Â
Jabatan Wismoyo semakin mentereng. Dia diangkat menjadi Kasdam IX/Udayana, kemudian Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangdam IV/Diponegoro. Selanjutnya, Presiden Soeharto mengangkatnya menjadi Pangkostrad dan Wakasad pada 1992, dan puncaknya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17.
Wismoyo juga termasuk murid yang cerdas, berwibawa, dan juga disegani teman-temannya di sekolah itu.Â
Di jenjang pendidikan ini, ada kenangan yang tidak pernah bisa dilupakan Wismoyo yakni, menjadi makelar karcis bioskop. Kebetulan letak bioskop tidak jauh dari rumahnya tinggalnya.
Pekerjaan ini dilakoninya selepas pulang sekolah untuk menambah uang jajan. Kala itu, Wismoyo diangkat sebagai komandan makelar karcis oleh teman-temannya lantaran dirinya kerap berkelahi dengan pembeli karcis yang merasa keberatan dengan harga karcis yang mahal.Â
Wismoyo pun melanjutkan pendidikannya di SMAN 1 Semarang. Kedua orang tua Wismoyo selalu menekankan pentingnya pendidikan. Di sekolah ini, karakter dan kepribadian Wismoyo semakin matang sebagai sosok yang berani, bertanggung jawab, disiplin, dan pekerja keras.
Pada 1960, setelah lulus SMA Wismoyo memutuskan masuk tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya yang juga seorang tentara Bambang Sugeng. Dia merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-3 saat tengah bergerilya melawan Belanda.Â
Kenangan itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer. Takatnya bulat, semangatnya pantang menyerah sehingga tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika mengetahui ada pengumuman pendaftaran masuk taruna Akademi Militer Nasional (AMN) sekarang bernama Akademi Militer (Akmil) di Magelang.
Saat tes masuk menjadi taruna, Wismoyo kembali menunjukkan keberaniannya. Ketika itu, kepala Wismoyo dipegang oleh salah satu panitia seleksi bernama Mayor Usman Rahman. Tak terima dengan perlakuan itu, Wismoyo marah dan menghalangi langkah Mayor Usman.Â
“Mayor jangan pegang-pegang kepala saya,” katanya dengan suara tegas. Setelah berhasil melewati semua tes, Wismoyo dinyatakan lulus sebagai taruna. Bersama dengan taruna lainnya, Wismoyo pun digembleng dengan keras di lembah Tidar.Â
Lalu jalan hidup pria kelahiran Bondowoso, 10 Februari 1940, berubah setelah masuk tentara.
Lulus AMN 1960 dengan pangkat Letnan Dua (Letda), Wismoyo langsung bergabung dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang saat itu masih bernama Kopassandha, pasukan elite TNI Angkatan Darat (AD). Belum lama bergabung dengan Kopassandha, Wismoyo langsung mendapat tugas menumpas pemberontakan bersenjata DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan yang dilanjutkan dengan menumpas G30S/PKI di sejumlah daerah.
Keberhasilannya di medan operasi, membuat Wismoyo diangkat menjadi Komandan Pengawal Pribadi (Danwalpri) Presiden Soeharto. Sebuah tugas yang hanya diberikan kepada prajurit-prajurit pilihan. Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan presiden dan keluarganya.Â
Karenanya, dalam melaksanakan tugas pengamanan, Wismoyo selalu melekat di mana pun Presiden Soeharto berada. Setahun menjadi pengawal pribadi, Wismoyo kembali ke Kopassus menjadi Komandan Kompi Group 4 Kopassus. Selanjutnya, diangkat menjadi Danki 5 Group 4.Â
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Kemudian, menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia.
Karier moncer Wismoyo terus menanjak, setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dan Sesko ABRI, Wismoyo kemudian menduduki sejumlah jabatan strategis hingga diangkat menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassandha ke-9 pada 1983.Â
Jabatan Wismoyo semakin mentereng. Dia diangkat menjadi Kasdam IX/Udayana, kemudian Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangdam IV/Diponegoro. Selanjutnya, Presiden Soeharto mengangkatnya menjadi Pangkostrad dan Wakasad pada 1992, dan puncaknya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.