Hal itu diputuskan dalam sidang putusan nomor 80/PUU XX/2022 di MK, Jakarta Pusat, Selasa 20 Desember 2022.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan ketentuan norma Pasal 187 Ayat (5) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Daerah pemilihan (Dapil) sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU’,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan yang dikutip, Rabu (21/12/2022).
Anwar menyebut ketentuan norma Pasal 189 Ayat (5) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
“Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur di dalam Peraturan KPU,"
“Menyatakan Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tambah Anwar.
Hakim Konstitusi, Sadil Isra menjelaskan, pengaturan tentang tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 167 Ayat (4) UU Pemilu. Penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 tahapan Pemilu yang dijalankan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sejalan dengan itu, secara normatif, UU Pemilu mengatur penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum merupakan tugas KPU. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945.
Berkaitan dengan hal ini, ketentuan Pasal 12 huruf d UU Pemilu menyatakan, “KPU bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilihan umum.
“Jika ketentuan Pasal 167 Ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017 dibaca dalam hubungan sistematis, konstruksi normanya secara sederhana dipahami ‘pelaksanaan tahapan pemilihan umum berupa penetapan daerah pemilihan merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum," katanya.
"Bilamana daerah pemilihan ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan daerah pemilihan. Padahal, penetapan daerah pemilihan merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilihan umum yang berada dalam lingkup tugas KPU,” kata Saldi.
Dengan demikian, kata Saldi, selama penetapan daerah pemilihan menjadi bagian dari lampiran undang-undang, KPU akan kehilangan peran secara signifikan dalam penentuan daerah pemilihan.
Bagaimana pun dengan diaturnya daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang, penetapan daerah pemilihan tidak lagi menjadi bagian dari tugas KPU.
Realitas demikian menunjukkan terdapat contradictio in terminis antara norma yang mengatur tentang penetapan daerah pemilihan dan wewenang KPU untuk menetapkan daerah pemilihan dengan ketentuan yang mengatur tentang daerah pemilihan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi.
"Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menuntut adanya jaminan kepastian hukum terhadap hal-hal yang diadopsi dalam undang-undang," ucap Saldi.
Saldi menerangkan, dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum.
Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU Pemilu dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU. Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU Pemilu.
“Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri,” ujarnya.
Dalam hal ini, Saldi menambahkan, UU Pemilu cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD.
Sementara itu, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 Ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU.
“Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang,” ujar Saldi.
Namun, Saldi melanjutkan, hal terpenting yang harus dilakukan dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.
Terkait dengan hal tersebut, mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independesi penyelenggaraan pemilihan umum.
“Sebab, bilamana terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest)," katanya.
Menurut Saldi, benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan bagi anggota DPR.
"Terlebih lagi, dalam perkembangan penentuan daerah pemilihan disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi di DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR," ucapnya.
Karena itu, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over represented) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under represented).
Sebagai informasi, dalam permohonannya, Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis.
Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut.
Prinsip utama seperti keseteraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru.
Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya.
Serta menyatakan Pasal 187 Ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185,"
Menyatakan Pasal 187 Ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU".
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.