PENYERANGAN Kerajaan Galuh membuat sang raja Purbasora tewas dan terjadi kekosongan kekuasaan. Saat itulah akhirnya Sanjaya yang melakukan penyerangan dan menguasai Galuh sempat memutuskan untuk menjadi raja.
Namun Sanjaya menyadari bahwa ia tidak berhak naik tahta di Galuh sehingga sempat memutuskan untuk mencari pengganti kekuasaannya. Ki Balangantrang sempat disiapkan jadi suksesor Purbasora, patih Galuh di saat Purbasora bertahta ini akhirnya menolak karena memilih untuk kabur dan tidak bisa dihubungi oleh Sanjaya.
 BACA JUGA:Serangan Mendadak Pasukan Kalingga dan Sunda Tewaskan Raja Galuh Purbasora
Pilihan pun jatuh pada tangan Premana Dikusuma sosok cucu Purbasora yang kala itu menjadi raja daerah. Pada usia 43 tahun ia dikenal sebagai rajaresi karena ia sangat tekun mendalami agama dan senang melakukan tapa sejak usia muda.
Pada "Menemukan Kerajaan Sunda" dari Saleh Danasasmita dikisahkan Premana Dikusuma mendapat julukan juga Bagawat Sajalajala. Penunjukan Premana Dikusuma sebagai pemegang pemerintahan di Galuh oleh Sanjaya cukup beralasan karena selain dia sendiri cucu Purbasora, istrinya yaitu Naganingrum adalah cucu Ki Balangantrang.
 BACA JUGA: Ketatnya Aturan Hukum Pernikahan di Zaman Majapahit
Follow Berita Okezone di Google News
Dengan demikian pasangan suami-isteri ini masing-masing mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka putera pertama dan kedua Wretikandayun. Dari Naganingrum Premana Dikusuma telah mempunyai seorang putera bernama Surotama alias Manarah yang lahir tahun 718 M.
Waktu Sanjaya menyerang purasaba Galuh, Manarah saat itu baru berusia lima tahun. Tokoh inilah yang disebut Ciung Wanara dalam literatur Sunda klasik. Sebagai anak usia lima tahun ia tidak banyak menyelami kejadian yang pernah menimpa buyutnya di Keraton Galuh. Buyutnya dari pihak ibulah yaitu Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang yang kemudian akan menguraikan kisah sedih yang telah menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Sebagai langkah mengikat kesetiaan Premana Dikusuma terhadap pemerintah pusat yang berkedudukan di Pakuan, Sanjaya menjodohkan raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep Puteri Anggada patih Sunda. Di samping itu Sanjaya menunjuk putranya sebagai patih Galuh, sambil sekaligus memimpin "garnizun" Sunda yang ditempatkan di Ibukota Galuh.
Premana Dikusuma menerima kedudukan sebagai raja Galuh karena terpaksa oleh keadaan. Ia tidak berani menolak permintaan Sanjaya yang dikenal mempunyai sifat mirip Purnawarman, yaitu sangat baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya, tetapi tak mengenal ampun terhadap musuh - musuhnya. Penolakan dari Sempakwaja dan Demunawan masih mungkin diterima oleh Sanjaya karena mereka terhitung tokoh-tokoh angkatan tua yang harus dihormatinya.
 BACA JUGA:Langgar Tabu, Raja Sunda Nikahi Perempuan Majapahit yang Telah Bertunangan
Lain halnya dengan Premana Dikusuma yang terhitung kemenakan Sanjaya. Kedudukannya menjadi serba sulit. Galuh menjadi bawahan Sunda, dan ia sebagai rajanya harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Kemelut itulah yang membuat Premana Dikusuma, sebagai seorang raja resi yang sejak muda senang bertapa lebih betah tinggal di pertapaannya.
Ia memaklumi pula taktik Sanjaya yang mengatur perkawinannya dengan Pangrenyep. Sebab ia seorang raja yang alim yang tidak menghiraukan wanita cantik sebagai bunga keraton. Maka ia meninggalkan Keraton Galuh untuk bermukim di pertapaan dekat perbatasan Sunda di sebelah timur Citarum.
Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak. Sementara itu, Pangrenyep sebagai pengantin baru yang berusia 19 tahun waktu itu ditinggal begitu saja oleh suaminya bertapa meninggalkannya.