JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang nantinya disahkan harus memiliki paradigma baru. Sebab, selama ini, cara pandang dalam aturan tersebut sudah cenderung tua.
Hal itu disampaikan Bivitri saat menjadi narasumber di acara diskusi virtual Polemik MNC Trijaya FM bertajuk 'Quo Vadis RKUHP', Sabtu (25/6/2022).
"Keinginannya bukan sekadar RKUHP baru, tapi kita punya RKUHP yang juga mengandung paradigma 100 tahun. Buat apa kita punya RKUHP baru, tetapi kalau ternyata semangatnya itu masih mereproduksi yang lama," jelas Bivitri.
BACA JUGA:Perindo Minta Pembahasan RKUHP Tak Didominasi Kesan PolitikÂ
Bivitri pun menjelaskan, salah satu contoh, yakni perihal penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Aturan itu tertuang dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
Menurut dia, alasan aturan tersebut dulu dibuat lantaran masyarakat Indonesia sebelum diposisikan sebagai pribumi yang merupakan bawahan Belanda. Menurut dia, saat ini masyrakat sudah bebas merdeka berdiri di Tanah Airnya sendiri dan oleh karenanya pasal itu tak relevan.
"Jadi pasal yang disebut harkat martabat presiden, dulu kan pasal itu dibuat karena kita dianggap pribumi tak beradab, dirasa perlu ditertibkan karena akita menghina ratu (Belanda). Itu paradigmanya kan lama tuh, sekarang kita enggak ada model seperti itu. Sekarang kan bukan primbumi vs penjajah, itu kan sudah tak relevan," ungkapnya.
BACA JUGA:DPR Harus Lebih Kritis saat Bahas Naskah RKUHPÂ
Follow Berita Okezone di Google News