TAK ADA satupun yang menyangka jika suara gong pertama yang terdengar, ternyata berasal dari para penduduk dan kepala desa, penduduk di utara kota, yang berbondong-bondong mengungsi ke ibu kota. Para penduduk tersebut melaporkan bahwa pasukan Kediri melaju dengan membunyikan gong dan genderang serta mengibarkan ratusan umbul-umbul.Â
Peristiwa penyerbuan oleh pasukan Kediri itu rupanya dikarenakan pihak Kerajaan Kediri yang murka karena jatuhnya korban di pihak mereka di tangan para pengawal Kertanegara yang berani meski tak berpanglima. Pasukan Kediri pun langsung merangsek ke keraton.
Secepat kilat mereka menyerbu ke dalam ruangan demi ruangan, dan akhirnya mereka mendobrak pintu ruang rahasia di bangsal perempuan yang khusus digunakan untuk ritual Tantra.
Para penyerbu yang beringas ini kemudian dikejutkan oleh pemandangan yang menurut mereka memalukan bagi raja, ratu dan sejumlah warga keraton yang sedang berada dalam berbagai pose yang ganjil dan awut-awutan, menenggak bergelas-gelas tuak dan asyik bersama para yoginis, alih-alih berperang layaknya ksatria.
Para penyerbu pun masuk, kemudian mengamuk dan tanpa ampun membantai seisi ruangan. Setelah itu, mereka memporak-porandakan seisi kota, memburu tawanan-tawanan penting dan melakukan penjarahan. Kertanegara yang merupakan raja di Kerajaan Singasari, beserta sang istri yang sedang berada di dalam ruangan tersebut ikut dibantai hingga tewas.
Sepeninggalan sang raja dan ratu, keadaan Singasari cukup kacau. Situasi medan perang ternyata lebih mencekam. Rombongan pasukan Singasari yang telah diberangkatkan ke kerajaan Malayu di Sumatra untuk melindungi putri bungsu sang raja, Gayatri, dari serangan Mongol, ternyata tidak bisa kembali ke Jawa lantaran arah angin yang bertiup berlawanan arah selama berminggu-minggu.