AKSI terorisme yang dilakukan kelompok Komando Jihad yang nekat membajak pesawat komersial milik negara, Garuda Indonesia yang dikenal dengan Peristiwa Woyla pada 28 Maret 1981 atau 41 tahun silam membuat nama Korps Baret Merah Kopassus dikenal di mancanegara.
(Baca juga: 40 Tahun Operasi Woyla: Puja-puji Dunia untuk Pasukan Baret Merah)
Namun ada kisah unik saat merancang operasi pembebasan pembajakan Pesawat Garuda DC-9 “Woyla”. Saat itu ada peristiwa menarik antara, Asisten Operasi Letkol Sintong Hamonangan Pandjaitan dengan Kapusintelstrat, Leonardus Benyamin ‘Benny’ Murdani.
Ketika pembajakan terhadap 48 penumpang dan lima awak Pesawat Garuda GA206 terjadi, Benny Murdani yang sudah diperintahkan Presiden Suharto untuk melancarkan operasi pembebasan, menghubungi Asrama Kopassandha.
Sayangnya, beberapa perwira berpengalaman seperti A.M. Hendropriyono, Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo Subianto sedang tidak ada di tempat. Hendropriyono tengah mengikuti latihan gabungan ABRI di Maluku. Sementara Luhut Pandjaitan dan Prabowo sedang menjalani pendidikan di Jerman Barat bersama GSG-9 (pasukan khusus Jerman).
Tinggallah Sintong Pandjaitan di asrama, lantaran kakinya tengah cedera usai latihan Mobile Training Team (MTT) dari Pasukan Khusus Amerika Serikat di Cijantung, pada awal tahun 1981.
Dalam buku “Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”, dia pun akhirnya dipercaya merencanakan operasi, kendati kakinya masih harus di-gips.
Ketika masih dalam latihan terakhir di hangar Garuda dengan meminjam pesawat dengan jenis yang sama jelang hari pemberangkatan ke Thailand, terjadi kisah menarik ketika menolak pemberian peluru khusus antiteror yang sedianya sudah terbilang “basi”.
“Jangan Pak, kami belum terbiasa,” tutur Sintong. “Lho, ini peluru bagus, yang terbaru. Gunakan saja,” tegas Benny Murdani.
Sintong pun bersikeras menjajalnya lebih dulu dan di-iyakan oleh Murdani. Tak dinyana, tak satu peluru pun meletus. Sintong bersyukur belum langsung berangkat dengan peluru itu.
Benny Murdani pun memerintahkan anak buahnya mengambil persediaan peluru lain ke Tebet. Sebagai catatan, peluru khusus antiteror memang tak akan menembus dinding kabin pesawat. Tapi sayangnya peluru semacam itu harus diganti enam bulan sekali. Nampaknya ada kelalaian dari staf perlengkapan.
Hal menarik lainnya terjadi setelah tiba di satu area markas Pasukan Angkatan Udara Thailand dekat Bandara Don Mueang. Saat simulasi terakhir dengan mengajak seorang pilot Garuda. Tapi usai simulasi, sang pilot memberanikan diri memberi koreksi.
“Tadi waktu bapak latihan, memang kalau pintu samping dibuka dari luar, anak buah bapak mudah menyerbu masuk. Tapi kalai pintu darurat yang terbuka, justru yang keluar karet peluncur pendaratan darurat,” tegas sang pilot.
“Yailah, terima kasih, terima kasih,” balas Sintong sembari bersyukur soal pemberitahuan itu. Jika tidak, anak buahnya malah akan terlempar ke bawah pintuy darurat dan terhantam tangga darurat.
Ketika memasuki area pembajakan di landasan, pasukan “disembunyikan” di lantai kendaraan untuk menjaga kerahasiaan. Benny Murdani pun harus duduk di atas anak-anak buahnya.
Di sisi lain, Sintong sudah mulai merasa Benny Murdani ingin ikut terjun langsung. Sintong berharap sang komandan tidak ikut operasi lantaran rentan sasaran musuh.
Dalam biografinya, Murdani menuturkan,: “Tempat terbaik bagi saya, harus bersama mereka (pasukan). Saya beranggapan, nilai politik psikologinya besar sekali. Kalau pun saya ikut mati tertembak, tetap bisa membuktikan, pemerintah Indonesia tidak pernah menyerah dalam menghadapi tuntutan pembajak,”.
31 Maret ’81 sekira pukul 10.43 dini hari, pasukan pun menggeruduk para pembajak dan dalam tempo kurang dari 10 menit, situasi bisa diamankan, kendati ada korban di pihak pasukan.
Follow Berita Okezone di Google News