JAKARTA- Uni Republik Sosialis Soviet atau dikenal dengan nama Uni Soviet adalah sebuah negara sosialis yang pernah berdiri di rentang tahun 1922 hingga 1991 di Eurasian. Uni soviet memiliki sistem politik satu partai yang dipegang oleh Partai Komunis dan bertahan hingga 1990.
 (Baca juga: Perang Pecah, Rudal Hipersonik Zircon Rusia Mampu Ratakan Ukraina Dalam Sekejap)
Namun, saat ini negara tersebut telah runtuh dan terbagi dalam sejumlah negara. Kendati demikian, Uni Soviet memiliki unit intelijien yang mumpuni yaitu KGB.
 (Baca juga: Uni Soviet Runtuh, Putin Sempat Kerja Sambilan Jadi Sopir Taksi Demi Tambah Penghasilan)
Dinas intelijen rahasia Uni Soviet KBG beserta jaringannya masih bercokol di Indonesia saat rezim Soekarno runtuh setelah Soeharto berhasil mengantongi surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang ia peroleh melalui dalih pemulihan keamanan nasional. Kekuasaan politik Bung Karno memang telah ambruk.
Sekelompok orang terus bergerak. Di Jakarta dan beberapa kota besar lain, KGB bersama GRU, yakni dinas intelijen militer Soviet, tetap melakukan kerja-kerja senyap.
Mereka terus mencoba menyadap informasi rezim baru yang mendapat sokongan kuat dari Amerika Serikat. Bahkan pada awal rezim orde baru berkuasa, mereka berhasil menempatkan sejumlah petingginya di Indonesia.
“Mereka adalah dua puluh empat pejabat KGB dan GRU yang ditempatkan di Jakarta, Medan dan Surabaya sejak awal 70-an,” tulis Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” dikutip Minggu (13/2/2022).
Menurutnya, puluhan agen asing tersebut selalu merasa lebih aman berada di lembaga resmi negara. Lembaga negara menjadi tempat paling strategius untuk berkamuflase. Salah satunya Atase Kebudayaan.
Ken Conboy menyebut nama Boris Liapine, salah satu pejabat Atase Kebudayaan. Liapine merupakan agen KGB yang gerak-geriknya dalam pantauan tim Satsus Intel (Satuan Khusus Intelijen).
Satsus Intel adalah sebuah unit baru Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang didirikan 16 November 1968. Pendirian Satsus Intel setelah adanya kunjungan Clarence “Ed” Barbier, salah seorang pejabat CIA (Central Intelligence Agency), agen intelijen Amerika Serikat.
Clarence Barbier yang kemudian bekerja di kedutaan merupakan Kepala Stasiun CIA yang khusus mengawasi hubungan dengan Bakin. Barbier tercatat sebagai intelijen angkatan laut pada Perang Dunia II yang memiliki keahlian bahasa Jepang.
Barbier juga pernah bergabung dalam marinir Amerika Serikat pada Perang Pasifik. Kunjungannya mendorong Kolonel Nicklany, Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib menegaskan gagasan perlu adanya Satsus Intel .
Nicklany ingin ada unit khusus di Bakin yang memiliki tugas kontra intelijen asing, yaitu menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia. Maka berdirilah Satsus Intel.
Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, menyebut Boris Liapine yang diawasi satsus intel adalah agen lapangan KGB yang berkedok Deputi Atase Kebudayaan.
Satsus Intel menjuluki setiap agen KGB dan GRU yang diawasi dengan sebutan “Gatot”. Begitu juga dengan agen Boris Liapine. Gatot merupakan sebuah nama yang umum dipakai masyarakat Jawa.
“Para agen lapangan satsus intel seringkali mengikutinya (Boris Liapine ) hingga dini hari di tempat-tempat hiburan malam di Menteng, di mana ia biasanya minum sampai tak sadarkan diri”.
Agen Soviet lain yang dipantau Satsus Intel adalah Vladislav Romanov. Romanov seorang Rusia bertampang ganteng. Ia ahli bahasa yang tercatat sebagai salah satu diplomat Soviet yang bekerja di Atase Politik.
Begitu juga dengan agen Oleg Brykin. Brykin dianggap berbahaya karena piawai membangun jaringan. Ia juga handal merekrut anggota baru.
Satsus Intel mengantongi laporan, pada awal 70-an, Oleg Brykin telah merekrut dua orang yang bekerja di kedutaan Inggris. Untuk mengikuti sepak terjang Brykin, Satsus Intel mencoba melacak data mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di blok Soviet.
Namun sayang, departemen pendidikan mengatakan arsip tersebut tidak dapat ditemukan. “Kemudian beralasan bahwa arsip-arsip telah turut hancur ketika Departemen Luar Negeri diserbu massa pada awal 1966”.
Satsus Intel rezim Soeharto terus melakukan kontraintelijen dari kerja-kerja senyap agen rahasia Soviet. Pada pertengahan tahun 1972, Satsus Intel berhasil mengkooptasi Nikolai Grigoryevich Petrov, seorang Kapten GRU berusia 33 tahun.
Petrov lima tahun belajar bahasa Indonesia dan cakap ngobrol bahasa Jawa pasaran. Ia merupakan agen Soviet yang awalnya menyamar sebagai juru bahasa dalam Proyek 055.
Proyek 055 di Surabaya merupakan proyek pemberian sisa bantuan Soviet kepada Angkatan Laut Indonesia. Petrov yang kemudian bekerja di kedutaan Soviet, datang ke Jakarta bersama kontingen GRU yang berjumlah sepuluh orang.
“Tim ini dipimpin oleh Kolonel Nikolai Khakalin, rezident GRU yang berkedok Atase Pers Senior,” tulis Ken Conboy. Melalui pasokan informasi Petrov, Satsus Intel mengetahui banyak hal terkait infiltrasi (penyusupan) mata-mata Soviet di tubuh militer Indonesia.
Dari laporan Petriov, Satsus Intel tahu GRU telah berhasil merekrut seorang letnan angkatan udara produktif yang bertugas di bagian tekhnik. Terungkap juga adanya agen yang menduduki posisi penting di Pangkalan Angkatan Laut Surabaya.
Diketahui bahwa perekrut ulung di tubuh militer Indonesia itu bernama Vladimir Abromov. Abromov yang berumur 48 tahun merupakan salah satu dari sepuluh orang kontingen GRU yang datang ke Indonesia bersama Petrov.
Baca Juga: Dukung Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Morowali Hibahkan Tanah ke KKP