JAKARTA - Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat menilai bahwa 2024 adalah waktu yang tepat untuk mengevaluas dan menata ulang demokrasi reformasi Indonesia. Evaluasi yang penting jadi perhatian adalah neo-dinasti.
Isu ini diangkat oleh Rektor UIII itu dalam Jakarta Geopolitical Forum V yang berlangsung pada hari ini, Jumat (22/10/2021).
Menurut dia, untuk bicara neo-dinasti perlu ditinjau kembali bagaimana kondisi para pejabat dan tokoh public masa pra-kemerdekaan.
“Ternyata reformasi ini telah melahirkan neodinasti dan sumber korupsi karena biaya politik yang mahal,” kata Komaruddin.
“Mengapa sejak dari pusat sampai daerah muncul neo dinasti dari suaminya menjadi bupati, ganti istrinya, ganti anaknya,” imbuhnya.
Akibat neo-dinasti dan ongkos politik terlalu mahal, bahkan pelaku korupsi adalah kerabat para tokoh publik itu sendiri. “Bahkan kemudian yang korupsi ayahnya, anaknya, Karena ongkos politik terlalu mahal,” tutur Komarudin.
Baca juga:Â Gubernur Lemhanas: Antusiasme Peserta JGF V Berikan Dampak Baik Bagi Peradaban
Permasalahan neo-dinasti bila tidak diselesaikan akan berdampak pada konstitusi dan partai politik, bahkan hingga ke penggunaan dukungan massa untuk kepentingan politik. “Modal massa ini salah satu instrumennya adalah symbol-simbol emosi agama,” kata Komaruddin.
Baca juga:Â Lemhanas Gelar Jakarta Geopolitical Forum 2021
Penggunaan simbol agama ini berdampak pada pendangkalan dan pembusukan pada proses demokratisasi di Indonesia. Tantangan selanjutnya bagi demokrasi di masa depan adalah belum adanya sosok membanggakan bagi karakter milenial saat ini. Milenial saat ini, lanjut dia, tak lagi terikat kuat pada tradisinya, contohnya pada bahasa.
“Generasi saat ini tidak bisa bahasa daerah, tapi mereka juga sayangnya belum menemukan bangunan rumah Indonesia secara kokoh dan membanggakan,” kata Komarudin.
Follow Berita Okezone di Google News