Share

Kisah 2 Wanita Tapol G30S PKI yang Diasingkan di Rumah Sakit Lepra Zaman Belanda

Vilda Rizky Ananda, Okezone · Rabu 29 September 2021 15:15 WIB
https: img.okezone.com content 2021 09 29 337 2478729 kisah-2-wanita-tapol-g30s-pki-yang-diasingkan-di-rumah-sakit-lepra-zaman-belanda-6IxD1tPiIT.jpg Tapol G30S PKI yang diasingkan/ BBC

SEBANYAK 500 tahanan politik perempuan pernah diasingkan di Inrehab Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Ratusan perempuan ini dituduh terlibat saat G30S PKI. Tempat ini merupakan bekas rumah sakit lepra era penjajahan Belanda, yang dijadikan kamp khusus tapol perempuan.

(Baca juga: Saat Jenderal Nasution Tolak Saran Bung Karno soal Pemakaman Ade Irma)

Dua mantan tahanan politik (tapol) penghuni kamp itu, Mudjiati yang berusia 73 tahun dan Yosephina Endang Lestari berusia 76 tahun, berbagi kisah pengalaman yang mereka alami di 'rumah edukasi' itu 50 tahun silam.

Beberapa waktu lalu, Mudjiati dan Yoesephina Endang Lestari mendatangi napak tilas ke tempat pengasingan mereka pada 50 tahun yang lalu, yang sekarang sudah menjadi tempat wisata. Endang menceritakan waktu itu di Plantungan masih seperti hutan diiringi dengan pohon-pohon yang besar, merasakan hawa alam yang luas dan sejuk. Di samping mereka berada di alam bebas, mereka ironi karena terbelenggu oleh kawat berduri.

(Baca juga: Subuh Berdarah di Jalan Sumenep, Mayjen Sutoyo Diculik dan Dibunuh PKI)

Mudjiati juga menceritakan semasa menjadi tapol jarang sekali memakan daging, jadi kalau ada binatang ular yang berseliweran di sekitar bukannya teriak takut, justru panggil temannya yang biasa jadi algojo. Kemudian ular tersebut dipukul langsung dibersihkan.

Di kamp Plantungan, tapol memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri dengan bekerja sesuai kemampuan dan keterampilan dari masing-masing yang mereka miliki. Di sana memiliki beberapa kegiatan yaitu bagian pertanian, penjahitan, kerajinan tangan, dan pertenakan.

Para tahanan politik waktu itu mendapat penataran Pancasila melalui program santiaji yang dilakukan secara rutin dan beriringan dengan ibadah keagamaan. Dengan melalui program santiaji setiap hari sabtu mereka diajari seperti pengertian Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sebelumnya mereka belum menganut pada ideologi Pancasila.

“Kami sudah tidak dibalik terali besi, tapi disitu kami merasa tidak punya kebebasan itu tetap ada” ujar Mudjiati dilansir BBC Indonesia, Rabu (29/9/2021).

Follow Berita Okezone di Google News

“Karena kami tidak diadili, jadi kami tidak tahu pasti kesalahan kami apa, secara fakta memang kami anggota organisasi saja, kami tidak mengerti apa-apa, namanya juga remaja” sambung ujar Mudjiati

Dua mantan tapol ini walaupun sudah bebas, tapi trauma mental dan stigma sosial masih tersisa hingga saat ini, diusia senja mereka.

“Saya bisa berkeluarga, terus bisa punya anak, puji Tuhan sudah bersyukur sekali ada penerusnya, anak itu yang membuat saya bertahan untuk hidup” sambung Endang.

1
2
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini