JAKARTA - Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu dari partai pertama yang berdiri di Indonesia bersama 7 partai lainnya, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, serta Partai Sosialis Indonesia (PSI).
(Baca juga: Bharada Kurniadi Gugur, Sejumlah KKB Teroris Lamek Taplo Jatuh ke Jurang saat Baku Tembak)
Menyadur buku Kegagalan Kudeta G30SPKI: Berdamai dengan Sejarah karya M. Fuad Nasar, mengupas apa saja yang PKI lakukan pada politik serta pemerintahan Indonesia di masa lampau.
PKI merupakan bagian besar dari sejarah Indonesia. Mulanya, partai ini bernama Indische Sociaal Dentocratische Vereiniging (ISDV), sebelum campur tangan tokoh-tokoh komunis Indonesia pada 23 Mei 1920 yang mentransformasi ISDV menjadi PKI.
Awalnya, PKI melakukan pemberontakan di Madiun pada September 1948. Kejadian ini sudah dianggap terselesaikan dan seharusnya tidak terulang lagi.
Tetapi, menurut mantan Menteri Luar Negeri dan Kepala Perwakilan Tetap RI di PBN Dr. H. Roeslan Abdulgani, menyatakan bahwa pemberontakan PKI di Madiun belum sepenuhnya tuntas, menyebabkan mereka masih berulah selama beberapa tahun ke depan.
Sempat ada pemikiran mengapa PKI tidak langsung dilarang untuk beroperasi pasca pemberontakan tersebut. Namun, Wakil Presiden Moh. Hatta memiliki pendapat lain atas larangan tersebut.
"Waktu itu kita tidak mau langsung melarang. Tetapi menuntut di muka hakim, karena negara kita merupakan negara hukum yang demokratis. Yang bersalah harus dituntut di muka pengadilan," ujar Hatta.
Tahun 1955 dimana Pemilihan Umum (Pemilu) pertama dilaksanakan, PKI secara mengejutkan berhasil memperoleh 6 juta suara, dan masuk ke dalam 4 besar bersama partai-partai lain yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Tidak hanya itu, PKI juga memanfaatkan kharisma Soekarno untuk kepentingan mereka, dengan menyatakan bahwa mereka akan mendukung langsung Soekarno jika mereka memenangkan pemilu 1955.
Setahun berselang, Hatta yang tidak menyukai keberadaan komunis, mengundurkan diri menjadi wakil presiden, sekaligus mengakhiri "Dwitunggal Soekarno-Hatta" dalam pemerintahan. Pengunduran diri terjadi akibat perbedaan prinsip dalam menjalankan negara, tetapi tidak sampai membuat keduanya bermusuhan.
"Dalam jabatan saya sebagai Wakil Presiden banyak terjadi hal-hal yang tidak dapat saya halangi, karena orang lain yang bertanggungjawab, sedangkan saya merasakan ikut serta memikul tanggung jawab moral sebagai orang yang ada di pucuk," tutur Hatta.
Follow Berita Okezone di Google News