PERLINTASAN kereta api (KA) di Rawa Pasung, dekat Stasiun Kranji, Bekasi, menjadi saksi bisu sekelompok pesilat asal Subang yang berbekal takbir, jurus silat hingga golok dalam mengacak-acak konvoi kendaraan tempur (ranpur) Inggris, pada 29 November 1945.
Perjuangan fisik negeri kita terhadap agresor, memang tidak sedikit diramaikan para jago silat. Tapi kebanyakan beraksi secara sporadis dan tak terorganisir. Salah satu kisah yang terekam jelas tentang sekelompok jago bela diri pencak silat yang ikut andil bertarung di medan revolusi dan terorganisir, adalah kelompok Pesilat Subang pimpinan H Ama Puradiredja.
Baca juga:Â Â Mengenal Kaswinah, Pasukan Setan Pimpinan MA Sentot yang 'Gempur' Belanda di Pantura
Seperti tercatat di buku "Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min". Para jago silat dengan keikhlasan hati dan nyali yang mantap, awalnya mendatangi komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Resimen V/Cikampek Letkol Moeffreni Moe’min. Datang meminta izin ikut bergabung dalam upaya perjuangan tampil di front terdepan.
Baca juga:Â Â Cerita Para Benalu Penghalang Revolusi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Front terdepan yang dimaksud adalah Front Bekasi. Front dengan garis demarkasi di Kali Cakung pasca-kesepakatan sekutu dengan pemerintah RI, bahwa Jakarta sebagai kota diplomasi, wajib dikosongkan tentara republik mulai 19 November 1945.
Izin yang diterima Moeffreni dengan satu syarat. Mereka harus mau dididik dasar-dasar kemiliteran terlebih dulu, agar spirit dan bara bela negara mereka tak sia-sia jika berhadapan dengan musuh macam NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie) atau Inggris yang jelas-jelas, pemenang Perang Dunia II.
“Saudara boleh di (front) depan, tapi sebelumnya saudara diberikan beberapa pengetahuan militer dulu, supaya serangan itu efektif,” cetus Moeffreni dalam buku yang disusun keluarga besar Moeffreni terbitan 1999.