BICARA teks tradisional seputar kisah dan legenda Untung Surapati tampaknya cukup banyak ditemui. Merujuk Maharsi (2008) dalam Kajian Filologi; Naskah Babad Surapati disebutkan kisah ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi, Babad Surapati, Babad Mentawis, Babad Kraton, Babad Trunajaya, Babad Trunajaya-Surapati, dan Babad Kartosura.
Kembali pada kasus Kapten Tack. Menurut Mahandis Yoanata Thamrin (2014) dalam Investigasi Terbunuhnya Kapten Tack di Kartosura, merujuk Babad Tanah Jawi, dikatakan perang itu memakan korban tewas sebanyak 79 serdadu VOC dan satu serdadu hilang. Sementara itu di pihak Surapati, sekitar 50 orang Bali tewas. Sebanyak 20 luka berat, di mana 15 di antaranya akhirnya juga tewas.
Masih merujuk sumber historiografi tradisional tersebut, Thamrin mengatakan Babad Tanah Jawi menulis nama Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat II, sebagai pembunuhnya. Atas perintah Sunan, Pangeran Puger sengaja membantu pasukan Surapati dan menyamar sebagai pasukan Bali.
Konon, Kapten Tack, perwira muda yang sohor berjasa memadamkan pemberontakan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa ini, luka dengan 20 tusukan berat karena ditikam tombak pusaka Kyai Plered. Demikian dilansir dari Indonesia.go.id.
Sementara itu, bicara Babad Surapati bukan hanya dikenal di Jawa Barat, melainkan juga di Jawa Timur. Masih dari Jawa Timur, di ujung paling timur pulau ini yaitu Blambangan, pun ditemukan varian babad ini. Demikianlah hasil penelitian Ann Kumar dalam Surapati: Man and Legend: a Study of Three Babad Traditions.
Adanya Babad Surapati yang menempatkan Untung Surapati sebagai subjek utama, jelas membuktikan adanya pengakuan para pujangga Jawa (intelektual publik) saat itu akan kiprah dan ketokohannya. Kumar bahkan mengatakan, Surapati merupakan tokoh istimewa dalam sejarah Jawa.
Sementara itu, teks ‘modern’ barulah muncul setelah Christina Sloot atau Masyhur dengan nama pena Melati van Jawa, menulis karya novelnya. Seperti telah disinggung di muka, novel ini lantas diterjemahkan oleh Ferdinand Wiggers, seorang jurnalis peranakan Eropa sekaligus pelopor penulisan karya-karya sastra di negeri ini. Terjemahan dari Van Slaaf Tot Vorst, yaitu Dari Boedak Sampe Djado Radja disebut-sebut sebagai karya terpenting Wiggers.
Agung Dwi Ertato (2018) dalam Pesakitan Ambtenaar yang Jadi Juru Karang Ternama setidaknya memberikan tiga alasan mengapa karya terjemahan itu bernilai fenomenal.
Baca Juga: Dukung Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Morowali Hibahkan Tanah ke KKP