JAKARTA - Di buku Naik Haji di Masa Silam Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji Jilid I (1482 – 1890), karya Henri Chambert-Loir diceritakan pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi. Peraturan ini membuat ongkos naik haji sangat tinggi.
Belanda menuntut para calon haji untuk memperoleh paspor dan membajar pajak sebesar 110 gulden. Aturan tersebut juga memungkinkan pemerintah Belanda mengawasi aktivitas para pribumi selama bermukim di Makkah.
Pada 1874, Belanda memberlakukan kebijakan yang menyulitkan, yakni jamaah haji diharuskan memiliki tiket pergi-pulang. Ketentuan ini menguntungkan karena menunjang sistem monopoli bagi perusahaan pengangkut haji.
Sedangkan bagi pemerintah Hindia Belanda, ketentuan ini memudahkan kontrol mereka terhadap jamaah haji. Dengan ketentuan tersebut, jamaah haji hanya diizinkan berangkat di sejumlah pelabuhan yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
 (Baca juga: Kisah Bung Karno Sarankan Perluasan Bukit Shafa -Marwah dan Haji Akbar)
Mereka yang berangkat dari Hindia Belanda membawa pas perjalanan ke Makkah yang ditandatangani oleh pegawai pangreh Praja dengan terlebih dahulu pergi ke sebuah pelabuhan embarkasi jamaah. Pas tersebut harus diserahkan untuk ditandatangani oleh seorang penguasa pelabuhan.
Setibanya di Pelabuhan Jeddah, terlebih dulu jamaah menghadap konsulat Belanda dengan menukarkan pas jalannya dengan pas izin tinggal selama musim haji.
 (Baca juga: Kisah Ulama Betawi yang Menjadi Imam Masjidil Haram)
Setibanya kembali di Tanah Air, pas itu sekali lagi harus ditandatangani oleh penguasa-penguasa Belanda.