JAKARTA - Perilaku masyarakat di ruang digital semakin fenomenal, perilaku mistikal yang sejatinya sangat tidak relevan dengan teknologikal malahan menjadi fakta sosial.
Hoaks babi ngepet di Depok adalah bentuk vertigo digital di Indonesia. Rasional sosial yang tidak seimbang dalam perilaku digital menjadi berujung perkara hukum.
Inilah fakta yang dimaksud oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dimana Pemerintah tetap mempertahankan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pemerintah beralasan tak dicabutnya UU ITE bertujuan untuk mengantisipasi pelanggaran di dunia digital.
"UU ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi. Bukan menghukum ya, menghukumi, dunia digital. Masih sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu, tidak akan ada pencabutan UU ITE," ujar Mahfud dalam konferensi pers dikutip dari kanal Youtube Kemenko Polhukam, Kamis (29/4/2021).
Danrivanto Budhijanto, seorang pakar kebijakan dan legislasi digital dari Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan bahwa UU ITE yang diundangkan sejak tahun 2008 sebagai Lex Digitalis terus berupaya mengantisipasi dampak dari revolusi dan konvergensi dari Teknologi Informasi Komunikasi pada era digital dengan melakukan pendekatan legislasi, regulasi, dan swa-regulasi.
"Pendekatan Legislasi (legislative approach) adalah upaya membentuk dan menjamin eksistensi perundang-undangan untuk antisipasi konvergensi digital dan arah kebijakan masa depan dari peradaban manusia," ujar Danrivanto.
UU ITE sebagai Lex Digitalis di Indonesia memiliki Panca Fungsi Hukum, jelas Danrivanto, yaitu Fungsi Direktif bahwa Lex Digitalis berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;