ROSO Daras dalam buku "Sukarno, Serpihan Sejarah yang Tercecer", menuliskan, Bung Karno adalah seorang Haji Akbar. Saat ia berangkat haji tahun 1955, ritual inti haji terjadi pada hari Jumat, sebuah hari suci bagi umat Islam.
"Karena itulah ia bergelar Haji Akbar. Tentu saja peristiwa itu tergolong langka. Sebuah versi menyebutkan, dari ibadah haji yang dilakukannya itulah ia mendapat tambahan nama “Ahmad”," katanya.
Bung Karno tidak menyandangkan nama Ahmad maupun gelar haji di depan namanya. Karenanya, ia pernah berang manakala seorang wartawan Amerika Serikat menuliskan namanya sebagai Ahmad Sukarno.
Baca Juga:Â Kisah Bung Karno Dilempar Granat oleh Teroris Anak Buah Kartosoewirjo
Menunaikan ibadah haji tahun 1955, tentulah berbeda dengan era sekarang. Sebab, fasilitas penunjang kelancaran beribadah, belum sesempurna saat ini.
Sebagai contoh, ritual sa’i, yakni berjalan kaki dengan tergesa-gesa antara dua bukit, bukit Shafa dan Marwah tidak semudah sekarang.
Sa’i, adalah sebuah ritual yang mengilas balik ketika Ismail, putra Nabi Ibrahim dari Siti Hajar, masih menyusu.
Suatu hari perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari antara dua bukit: Shafa ke Marwah demi seorang anak amanah Allah.
Hajar pun terus mencari sumber air bolak-balik tujuh kali. Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih, yang sekarang kita namakan air zam-zam. Sumber air yang keluar dari hentakan dan jejakan kaki Ismail.
Baca Juga:Â Â Kisah Mistis Bung Karno dan Parfum Favoritnya
Kisah Siti Hajar ini diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia, sebagai rangkaian ibadah haji, yakni sa’i -berlari-lari kecil atau berjalan tergesa-gesa dari Sahfa ke Marwah bolak-balik tujuh kali.