TEPAT hari ini, 16 April pasukan elite TNI AD, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merayakan hari jadinya yang ke-69. Banyak kisah menarik sepanjang perjalanan Korps Baret Merah ini yang luput dari publikasi media. Okezone akan mengulas beberapa pengalaman unik maupun operasi militer pasukan yang awalnya bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ini.
(Baca juga: Mengingat Janji Serda Ucok Berantas Preman di Kota Keraton Usai Bebas)
Sebagai seorang prajurit komando, anggota Kopassus dibekali berbagai keahlian. Salah satunya kemampuan intelijen yang mumpuni.
Prajurit yang memiliki kualifikasi tersebut ditempatkan di Grup 3/Sandhi Yudha. Satuan Kopassus ini memiliki spesifikasi tugas perang rahasia āClandestine Operationā, termasuk kemampuan dalam intelijen tempur atau combat intell,dan counter insurgency (kontra pemberontakan).
(Baca juga: 40 Tahun Operasi Woyla: Puja-puji Dunia untuk Pasukan Baret Merah)
Pasukan ini malang melintang di berbagai operasi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya di Belanda.
Dikutip Okezone dalam buku Kopassus untuk Indonesia, karangan Iwan Santosa dan E.A Natanegara. Prajurit Kopassus terpilih memantau langsung kiprah warga keturunan Maluku di Parlemen Belanda.
Salah satunya Sam Formes, anggota parlemen dari Partai Greolinks. Dia diketahui aktif menjadi mediator untuk mengkader generasi penerus Republik Maluku Selatan (RMS) di Negeri Kincir Angin tersebut.
Secara keseluruhan didapati kekuatan pengikut RMS mulai berkurang karena terpecah belah. Apalagi dalam era demokrasi dan keterbukaan sekarang, tindak kekerasan untuk memaksakan kehendak, tidak lagi popular di Belanda dan Indonesia.
Saat itu, Suhartoyo bersama Tim Kopassus memantau langsung perayaan HUT RMS-ke55 tahun 2005 di Gedung Congres Centrum Den Haag dan HUT RMS ke-56 tahun 2006 di Gedung RAI Amsterdam.
Wakil Presiden RMS Watilette yang mewakili Presiden RMS Tutuhatunewa berusaha memotivasi anggota RMS untuk tetap memperjuangkan gagasan mendirikan negara sendiri. Watilette mengakui kondisi keuangan RMS sedang kritis sehingga harus meminta sumbangan dari anggota, Yayasan, organisasi dan gereja karena mereka sudah tidak lagi mendapat bantuan sumbangan dari Pemerintah Belanda.