JAKARTA - Pada 12 Juni 1830, Kapal Pollux akhirnya membuang jangkar di Manado. Keesokan harinya Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya diturunkan dari kapal. Mereka dikawal menuju Fort New Amsterdam, Benteng Belanda di kemudian hari rusak akibat gempa (14 Mei 1932) dan pengeboman Amerika Serikat (7 Desember 1944). Benteng ini akan menjadi rumah mereka selama tiga tahun.
"Menurut Babad Diponegoro, Van den Bosch telah menjanjikan dia 'tempat yang terpencil dan tenang' di sebuah rumah besar dengan panorama pemandangan yang luas menghadap ke pegunungan dan laut dengan taman-tamannya yang asri, rumah-rumah peristirahatan dan tempat-tempat lain yang dapat dinikmati tanpa gangguan," ujar Sejarawan Peter Carey, yang juga penulis buku Diponegoro, 'Takdir' dan 'Kuasa Ramalan' dikutip Okezone, Jumat (8/4/2021).
Pada tahun 1859, empat tahun sejak wafatnya Diponegoro, Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang ahli ilmu alam Inggris, menggambarkan Ibu Kota Minahasa itu sebagai salah satu kota tercantik di Timur dengan barisan puncak-puncak gunung berapinya yang menakjubkan, yang membentuk latar belakang luas dan pemandangannya yang indah (Wallace 1890:185).
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Tulis Babad dalam Ruang Panas di Benteng Rotterdam
Sekalipun gambaran di atas boleh jadi sesuai dengan janji Gubernur Jenderal (Knoerle, ‘Journal’, 50), segera menjadi jelas bahwa maksud Van den Bosch untuk mengurung pemimpin Perang Jawa ini di tempat yang aman dan jauh di pedalaman praktis tidak dapat dilaksanakan.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Mabuk Laut & Deman saat Berlayar
Ketika Knoerle, seorang perwira Hindia Belanda menemui Residen Manado, D.F.W. Pietermaat (menjabat, 1827-31), mereka sampai pada keputusan bahwa Pangeran Diponegoro akan di tempatkan sementara di ruangan dengan empat kamar di dalam benteng Fort Nieuw Amsterdam.
"Untuk itu ruangan direnovasi agar cukup 'elegan', lengkap dengan rak buku, meja tulis berikut lacinya, dengan lampu minyak besar keluaran terakhir. Diponegoro memang ingin menuliskan sesuatu selama ia tinggal di Manado. Dua kuda juga dibeli untuk Pangeran, sehingga ia dapat berkeliling di daerah itu," ungkap Carey.
Saat Knoerle berangkat pada tanggal 20 Juni, keputusan yang diambil adalah bahwa Pangeran tetap tinggal di Manado.
Pada hari-hari sebelumnya (14-17 Juni 1830) Knoerle telah melakukan survei ke pedalaman dan mencatat bahwa satu-satunya lokasi yang cocok untuk Diponegoro adalah Tondano.
Tetapi ada masalah hanya sebulan sebelumnya, Kiai Mojo beserta 62 pengawalnya sudah lebih dahulu tinggal di sana. Baik Knoerle maupun Pietermaat sepakat bahwa pemimpin Perang Jawa dan penasihat agamanya yang utama ini tidak boleh berada di satu lokasi pengasingan yang sama, suatu keputusan yang kebetulan dipermudah oleh pilihan Pangeran sendiri untuk tetap tinggal di Ibu Kota Minahasa mengingat dinginnya suhu udara di dataran tinggi Tondano.
Dalam babad, Diponegoro menyebut-nyebut tentang percakapan terakhir antara dirinya, Knoerle, dan kapten kapal Pollux sebelum mereka berangkat pulang ke Batavia. Setelah memberitahukan tunjangan bulanan sebesar 600 gulden, Kapten Eeg menanyakan apakah Pangeran hendak menitipkan pesan pribadi kepada Gubernur Jenderal, mungkin dalam bentuk sepucuk surat?
“Tidak!” jawab Diponegoro. “Saya tidak punya keinginan menitipkan surat karena saya tidak bisa menulis, cukup sampaikan salam saja kepada Jenderal Van den Bosch!” (Babad Dipanegara IV:201).
"Jawaban Diponegoro ini meragukan: Pangeran sebetulnya mampu menulis dalam bahasa Jawa meski secara gramatikal masih kacau. Pangeran bahkan dapat menulis surat-surat pribadi dan mendiktekan karya besarnya seperti babad riwayat hidupnya sepanjang 43-canto," ujarnya.
"Berpura-pura buta huruf merupakan isyarat Pangeran untuk menyatakan bahwa ia tidak bisa melupakan ketidaksediaan Van den Bosch untuk menemuinya sewaktu masih berada di tahanan Batavia", tambahnya.