JAKARTA - Museum Bahari di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara menyimpan 126 koleki benda-benda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur, foto-foto dan biota laut lainnya.
Dahulu kala tempat itu menjadi pusat perniagaan penting. Begitu sibuknya sehingga perlu penjagaan ketat, Kapal-kapal besar dan kecil hilir-mudik mengangkut rempah-rempah, berupa cengkeh, buah pala, lada, kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun teh, biji kopi dan lain-lain lainnya diangkut ke Eropa dan beberapa negara lain di dunia.
Hasil bumi Nusantara ini menjadi monopoli komoditi penting perusahaan dagang Vereningde Indische Compagnie (VOC) Belanda. Hingga kini gudang tua itu masih bertengger dan terkesan angker.
Secara signifikan gudang tersebut mengalami perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada pintu-pintu masuk. Di antaranya tahun 1718, 1719, dan 1771.
Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut menjadi tempat logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post Telepon dan Telegram).
Baca juga: Kualitas Udara di Kota Tua Jakarta Membaik Pasca-Larangan Melintas Kendaraan
Di antara materi sejarah bahari yang dipajang antara lain perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Pinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter, dan Gelati (Bali). Miniatur Kapal VOC Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya.
Baca juga: Asyiknya Berwisata di Kota Tua Jakarta, Ini Sederet Pilihan Destinasinya
"Museum ini selain sebagai pusat informasi budaya kelautan, juga menjadi tempat wisata pendidikan bagi leluhur baru yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah kebaharian bangsa tempo dulu," ujar salah satu pengurus museum, M. Isa, Rabu (7/4/2021).
Faktor usia, ditambah terjangan badai tropis dan seringnya pasang air laut, menjadikan Museum Bahari (bekas gudang tua) itu makin melesak dan tenggelam sedalam 80 Cm. Pintu-pintu di lantai bawah tampak pendek karena masuk ke dalam tanah urugan akibat pasang laut di tiap musim.
Akibat urugan tanah itulahvmenjadikan plafon ruang pamer di lantai bawah tampak menjadi lebih pendek mendekati lantai. Namun yang lebih memprihatinkan ialah pintu masuk ruang pamer yang semakin rendah itu memaksa wisatawan Eropa yang tubuhnya jangkung harus menundukan kepala saat melewati pintu masuk.
“Tetapi wistawan bule itu tidak mengeluh bahkan tertawa gembira,” ungkap M.Isa.
Selanjutnya diterangkan Isa, koleksi-kloeksi yang terdapat di museum. Phinisi, Kata dia, penuh dengan aroma laut, seolah-olah terdengar suara angin dan gemuruh ombak diiringi kicauan burung camar.
Perahu tipe Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Pada awal abad ke-20, pengrajin perahu Ara dan Lemo-lemo membangun pinisi pertama buat seorang nahkoda Bira, kampung asal pelaut terkenal Sulawesi. Perahu pinisi pertama masih berukuran kecil dengan kapasitas 20-30 ton dengan panjang 10-15 meter.
Pada perang dunia kedua perahu pinisi digunakan oleh tentara Jepang untuk keperluan perang sehingga menjadi target serangan udara dan laut para lawannya.
Meski demikian armada pinisi kala itu ditenggelamkan, pelayaran tradisional tetap merupakan salah satu pilar utama pengembangan RI yang baru terbentuk setelah Jepang menyerah.
Lantas Lancang, berarti perahu. Pada masa lalu dikenal jenis Lancang dari Sumatera, Banten, dan Kalimantan, dengan model Lancang Kuning koleksi Museum Bahari adalah perahu untuk pesiar bagi raja dan keluarga. Di samping itu dipakai oleh para hulubalang, laksamana, dan petinggi kerajaan untuk kegiatan perang dan patroli wilayah kekuasaannya, khususnya di kepulauan Riau.
Lalu Gelati adalah jenis perahu nelayan yang memegang peranan penting di Selat Bali. Perahu yang disebut Jung Raje oleh orang Madura ini mendominsai dermaga di setiap pelabuhan perikanan di sepanjang pantai Utara Jawa.
Rangka dan badan perahu terbuat dari kayu jati dengan panjang 12 meter dan lebar 2.6 meter serta berawak 18 orang.