TANGERANG- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu langkah maju. Selama ini penerapan pasal karet rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online (pasal asusila), represi legal warga yang mengkritik kebijakan (pasal defamasi), represi minoritas agama (ujaran kebencian), dan lain-lain.
Wakil Ketua LITUPSK, Edwin Partogi Pasaribu mengatakan bahwa penerapan pasal karet ini membuat saksi, korban maupun pelaku semakin kesulitan. Berdasar data perlindungan ke LPSK tiga tahun terakhir, terdapat 31 kasus dengan 68 orang mengajukan permohonan perlindungan atas jeratan UU ITE.
BACA JUGA: Mahfud MD: UU ITE Bisa Direvisi Jika Terdapat Pasal Karet
“Kondisi ini membuat posisi saksi, korban, saksi pelaku, maupun pelapor menjadi semakin sulit”, ujar Wakil Ketua LITUPSK, Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan tertulis pada Sabtu (27/2/2021).
Kritik tersebut dilayangkan berdasarkan praktik kecenderungan over criminalization dalam penerapan UU ITE. Metode penanganan perkara ITE lebih menekankan sanksi pidana, daripada respon kontrol sosial lainnya yang menekankan pemulihan mediasi.
Beberapa perkara terkait pelanggaran kesusilaan, mencemarkan nama baik, atau untuk “membalas” laporan masyarakat atas sejumlah kasus korupsi, kekerasan sekual, sengketa lingkungan hidup, dan penganiayaan.
BACA JUGA: Pakar Hukum Sebut Tak Perlu Perppu untuk Revisi UU ITE
“Namun, di tengah polarisasi yang meningkat imbas dari pemilu, pada perkara yang bernuansa ”politis-horizontal” polisi juga perlu melihat lebih jauh pokok perkara yang terjadi, dan tidak mudah menerapkan UU ITE,” harap Edwin.
Dampak penerapan UU ITE secara hitam putih juga berakibat buruk bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Dari hasil laporan sejumlah survei lembaga demokrasi menunjukkan anjloknya indeks demokrasi Indonesia disebabkan kebebasan sipil yang menciut, khususnya karena efek UU ITE.