UNTUNG Surapati dikenal sebagai mantan budak yang melawan VOC di Batavia. Ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makassar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi menemukan lukisan wajah Untung Suropati. Ia memperoleh foto lukisan Untung Surapati dari seseorang yang tidak mau disebutkan namanya.
Sebelumnya ia tidak mengetahui itu adalah wajah Untung Surapati. Suatu saat, temannya yang baru pulang dari Belanda bertamu ke rumahnya di kawasan Bintaro, Jaksel. Kemudian Ridwan memperlihatkan foto lukisan yang baru saja diperolehnya. Temannya itu terkejut saat menyaksikan lukisan itu.
”Ini lukisan Untung Surapati. Saya melihat lukisan semacam ini di Leiden, Belanda. Berarti lukisan itu difoto,” kata teman Ridwan.
Setelah itu, Ridwan baru mengerti bahwa foto yang diperolehnya adalah foto lukisan Untung Suropati.
Dalam lukisan itu Untung digambarkan sedang memegang payung, memayungi seorang Noni Belanda dan laki-laki belanda memakai topi. Di belakang mereka trelihat pemandangan bukit tambora (sekarang rata jadi perumahan penduduk) dan kapal-kapal berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa.
“Satu di antara pekerjaan budak adalah membawa payung,” ucapnya.
Baca juga: Kisah Jagoan Betawi Aki Tirem Kalahkan 70 Bajak Laut dengan Tangan Kosong
Budak memiliki pekerjaan lain yaitu membuang kotoran majikannya setiap pagi. Jadi dulu orang Belanda jika membuang air besar di sebuah ember. Di atas ember itu ditaruh kursi untuk duduk. Lalu setiap pagi kotoran itu dipikul para budak ke Sungai. Menurut Ridwan, tradisi menanam tinja memang belum populer abad itu. Jika majikannya membuang hajat di ember, budaknya langsung ”nangkring” di pinggir sungai.
Warga Belanda banyak memelihara budak karena status sosial atau tinggi rendahnya derajat seseorang dihitung dari berapa banyak mempunyai budak. Bukan hanya sekedar dari kekayaan, perhiasan, atau kendaraan (kereta kuda).
Bahkan, mereka yang status sosialnya paling rendah sekalipun juga memelihara budak hanya untuk memayungi dengan payung keemasan sebagai salah satu gaya hidup.
Baca juga: Ketika Makam Gaib Sultan Agung Muncul di Giriliyo
"Di samping untuk meningkatkan status sosial, perempuan-perempuan Belanda maupun Eropa di Batavia ternyata sok pamer atas segala materi yang mereka miliki. Jadi, jangan heran saat pergi dan pulang dari gereja mereka bawa budak sebanyak-banyaknya," paparnya.
Tiap budak melayani dan membawakan barang keperluan majikannya. Ada yang membawakan buku nyanyian, kipas dan kotak sirih. Saat itu wanita dan juga pria umumnya makan sirih. Kotak sirih ini juga bukan sekedar tempat menyimpan sirih, pinang, dan gambir, tapi juga jadi alat pamer. Kotak sirih diberi hiasan indah dan sekaligus berfungsi sebagai tempat perhiasan pula.