JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada beberapa permasalahan terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dijadikan dasar pelarangan FPI oleh pemerintah. SKB FPI tersebut dinilai tak tepat sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum.
āSurat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (selanjutnya disingkat SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat,ā tulis koalisi dalam keterangannya, dikutip Kamis (31/12/2020).
Sehari sebelumnya pemerintah melalui enam menteri dan pejabat setingkat menteri resmi melarang seluruh aktivitas Front Pembela Islam (FPI), yang didasarkan pada SKB. Selain aktivitas, penggunaan simbol serta atribut FPI juga dilarang.
Baca Juga:Ā Reaksi Mengejutkan Habib Rizieq Usai FPI Ditetapkan sebagai Ormas Terlarang
Pemerintah berargumen secara de jure FPI dianggap telah bubar karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebut FPI terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Menurut koalisi ini, penggunaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Ormas (UU Ormas) sebagai dasar pelarangan FPI tidak tepat. Sebab secara konseptual bermasalah dari perspektif negara hukum. Menurutnya, UU Ormas memungkinkan pembubaran organisasi dapat dilakukan sepihak.
Baca Juga:Ā Prof Muladi Meninggal, Sempat Positif Covid-19 dan Butuhkan Donor Plasma Darah
Berikut sejumlah permasalahan dalam SKB FPI menurut Koalisi Masyarakat Sipil:
Pertama, pernyataan bahwa FPI yang tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dianggap bubar secara de jure sebagai organisasi tidak tepat. Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan āorganisasi yang tidak terdaftarā, bukan dianggap bubar secara hukum.