JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani menilai, kewenangan perizinan untuk merekam proses persidangan oleh hakim justru merusak wibawa pengadilan, hal itu berdasarkan edaran Mahkamah Agung (MA).
Julius Ibrani adalah kuasa hukum 4 anggota Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Kabupaten Tangerang. Keempat buruh ini terseret ke meja hijau karena tuduhan melakukan pengeroyokan dan keonaran di muka umum saat menggelar aksi protes menolak Omnimbus Law UU Cipta Kerja Maret 2020 lalu.
Baca juga: Kisruh Soal Pengambilan Foto dan Rekaman di Persidangan, MA: Kami Tidak Membatasi Transparansi
Dalam kasus ini, kata Julius, hakim melarang seluruh yang hadir dalam persidangan, termasuk pengacara, melakukan perekaman audio dan video.
Hakim merujuk pada Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan aturan serupa Perma No.5/2020 yang telah dicabut di kemudian hari.
Baca juga: Mahkamah Agung Libatkan TNI Amankan Persidangan di Pengadilan
Menurut Julius, vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada empat buruh tersebut tidak berdasarkan fakta persidangan, yaitu keterangan saksi dan korban selama persidangan.
"Jadi itu jelas sekali, ketika saksi bilang nggak, pertimbangan hakim bilang iya. Satu-satunya bukti kan adalah rekaman pada saat persidangan itu," kata Julius yang mengaku menyimpan rekaman selama proses persidangan.
Julius melanjutkan, rekaman yang bisa membandingkan antara keterangan saksi dan korban selama persidangan dengan pertimbangan hakim dalam vonis empat buruh ini telah dilaporkan ke Komisi Yudisial.
"Bahwa ada kerugian yang besar bagi orang-orang yang berhadapan dengan hukum ketika tidak boleh mengajukan perekaman, baik suara atau video pada saat persidangan. Dan, ini bertentangan dengan prinsip persidangan terbuka untuk umum, kecuali untuk kasus anak dan asusila," kata Julius.