JAKARTA - Muncul perbedaan versi antara polisi dan Front Pembela Islam (FPI), terkait peristiwa penembakan yang menewaskan 6 Laskar Front Pembela Islam (FPO) pengawal Habib Rizieq Shihab dan keluarganya, di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50, Senin 7 Desember 2020, sekitar pukul 00.30 WIB dini hari.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran mengkaim, polisi terpaksa mengambil tindakan tegas dan terukur dengan menghadiahi timas panas kepada para anggota Laskar FPI karena melawan petugas menggunakan senjata api dan senjata tajam.Â
Namun, pernyataan polisi dibantah Sekretaris Umum FPI Munarman. Dia mengklaim setiap anggota FPI dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, serta terbiasa dengan tangan kosong.Â
Sementara itu, ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, perlu kronologi yang berkualitas guna mencari kebenaran tentang peristiwa penembakan kepada para Laskar FPI.
Kronologi itu, lanjut dia, harus lengkap dan akurat disertai dengan fakta yang didukung bukti-bukti yang kuat.
"Kronologi yang berkualitas harus lengkap dan akurat. Lengkap bermakna rangkaian episode terangkai utuh. Akurat berarti sesuai dengan fakta, didukung oleh bukti-bukti," ujar dia.
Baca juga:Â Beredar Video Habib Rizieq Tanggapi Penembakan 6 Laskar FPI, Ini Isinya
Menurut Reza, dengan bukti dan kronologi kuat maka akan terungkap versi mana yang benar. Untuk itulah, publik harus menunggu hasil investigasi tim independen dari Komnas HAM.
"Dari dua versi kronologi yang ada, yang mana yang akan kita percayai? Tentunya versi yang berkualitas. Bagaimana caranya menyusun kronologi yang berkualitas itu? Investigasi independen," terang dia.
Reza menambahkan, dalam psikologi forensik, ada istilah penembakan yang menular (contagious shooting). Ketika satu personel menembak, hampir selalu bisa dipastikan dalam tempo cepat personel lain juga akan melakukan penembakan.
"Seperti aba-aba, anggota pasukan tidak melakukan kalkulasi, tapi tinggal mengikuti saja," jelas dia.
Dia menilai, kemungkinan dalam peristiwa di KM 50 Tol Cikampek, aksi menembak menjadi perilaku spontan alias bukan aktivitas terukur. Terlebih ketika para petugas sudah mempersepsikan target sebagai pihak yang berbahaya.
"Jadi, dengan kata lain, dalam situasi semacam itu, personil bertindak dengan didorong oleh rasa takut," tutur Reza.
Follow Berita Okezone di Google News