SEBAGAI salah satu perwira Divisi Siliwangi (Batalyon A) asal Indramayu, sosok MA Sentot dikenang sebagai komandan yang sangat dihormati anak buahnya.
Okezone pun kembali mengulas kisah MA Sentot di sejumlah palagan di Hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini, Selasa (10/11/2020).
(Baca juga: Kisah Kopral Bakri, Legenda Hidup Marinir Berusia Hampir 100 Tahun)
“Kalem Pak Sentot mah orangnya. Tapi kalau sudah jengkel sama orang atau anak buah, dihantam pasti tumbang. Orangnya enggak galak, tapi tegasnya begitu,” ujar salah satu anak buah MA Sentot, Prada (Purn) Kaswinah, saat ditemui Okezone, beberapa waktu lalu.
Kaswinah mengisahkan bahwa dia sudah ikut MA Sentot di Pemuda Pelopor sejak usia sekitar 18 tahun. Tokoh LVRI Kabupaten Indramayu itu juga terus ikut pemimpin “Pasukan Setan” Batalyon A Divisi IV (kini Kodam III) Siliwangi hingga diberhentikan pada 1949.
(Baca juga: Taktik Perang Ateng Sarton Merepotkan Belanda saat Agresi Militer)
Salah satu palagan pertempuran yang paling diingat Kaswinah adalah ketika Pasukan Setan menghantam Belanda di Jembatan Bankir, Lohbener, Indramayu, medio November 1947.
“Setelah penyerangan di Jembatan Bankir itu, Belanda nyari-nyari kita sampai dekat markas di dekat pantai. Tiga hari tiga malam pesawat-pesawat Belanda terbang di atas kita. Pas tentara Belanda patroli ke hutan, kita disuruh Pak Sentot keluar ke laut dengan perahu nyamar jadi nelayan,” urainya.
“Selang berapa bulan, ada perintah untuk hijrah (Siliwangi pindah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta akibat Perjanjian Renville 17 Januari 1948). Pasukan dan Pak Sentot ikut hijrah, tapi akhirnya saya disuruh pulang,” lanjutnya.
Kala itu, dia diperintahkan untuk tidak ikut hijrah oleh MA Sentot yang pensiun berpangkat kolonel tersebut. Dia pun menuruti perintahnya dan akhirnya tetap tinggal bersama 5 rekan lainnya di Indramayu. Bukan karena ada tugas khusus, melainkan untuk keselamatan keluarganya.
“Sudah dari kecil kenal Pak Sentot, termasuk keluarga saya karena memang dulu rumah kita dekat, tetanggaan lah. Pas ada perintah hijrah, saya dan teman-teman dari Subang sudah sampai Kuningan, disusul anak buah Pak Sentot lainnya, disuruh pulang jangan ikut hijrah,” bebernya.
“Disuruh Pak Sentot, disuruh nemenin bapak saya. Bapak saya kan kepala desa. Katanya kalau Belanda masuk, nanti para kepala desa bakal dituduh pro-Belanda, takut dibunuh sama teman-teman (pejuang) sendiri. Akhirnya saya pulang berenam yang asli Indramayu juga,” sambungnya.
Namun pada 1949, Kaswinah ‘reunian’ lagi dengan MA Sentot dan teman-temannya pasca-long march. Siliwangi kembali ke Jawa Barat setelah Belanda melancarkan Agresi II 19 Desember 1948.
“Tahun 1949 itu Pak Sentot balik lagi long march ke Indramayu. Kita konsolidasi lagi, tapi lawannya bukan lagi ketemu Belanda, tapi juga DI (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia),” kata Kaswinah.
Dalam pertempuran dengan gerombolan DI, Kaswinah melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa komandan legendarisnya itu ternyata kebal peluru. Tidak hanya kebal ditembak jarak jauh, tapi juga jarak dekat.
Kalau perang, Pak Sentot di tengah-tengah. Kasih arahan maju (sisi) kanan, maju (sisi) kiri udah kayak main (sepak)bola aja. Kalau (MA Sentot) kena tembak enggak apa-apa. Kalau diberondong (senapan mesin ringan) Bren, malah pada jatuh pelurunya,” kenang Kaswinah.