KUPANG - Postur tubuhnya semampai. Rona wajahnya terlihat segar pun begitu dengan tatapannya. Sesekali ia melemparkan senyum.
Sutoyo (bukan nama sebenarnya) terlihat sangat sehat saat bersedia ditemui siang itu untuk bercerita kisahnya sebagai orang dengan HIV (ODHIV). Bagi Sutoyo sendiri, status kesehatannya sebagai ODHIV adalah sesuatu yang sangat dijaganya agar tidak diketahui oleh sembarang orang.
“Tak menyenangkan, bisa dijauhi, dicemooh. Jadi harus mampu dirahasiakan,” ceritanya.
Itulah yang dialami Sutoyo sejak masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta Kota Kupang hingga kini. Ia menjaga rapi identitas dirinya sebagai ODHIV. Apalagi dirinya yang juga seorang penyuka sesama jenis, menjadikan posisi Sutoyo tidak mudah di masyarakat.
Status kesehatannya tersebar begitu saja tanpa ia ketahui dari mana sumbernya. Satu per satu teman-temannya mulai menjauh. Teman kuliah yang akrab hingga dosen-dosen di kampus juga memutuskan menjaga jarak dengan Sutoyo.
Kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi di kampus pun dialami Sutoyo, hingga kesulitan menyelesaikan tugas akhir (skripsi).
“Saat konsultasi hingga ujian, baik dosen pembimbing maupun penguji nggak ada yang mau nyentuh skripsi saya. Takut tertular sepertinya,” kenangnya.
Meski sempat putus asa, menolak keluar dari kamar kos hingga berpikir untuk bunuh diri, kini Sutoyo terlihat lebih tegar dan berdamai dengan dirinya. Sahabat dan keluarga adalah orang-orang yang terus mendukungnya. Awalnya kedua orang tuanya kaget hingga diam tak memberi respon apapun terhadap pengakuannya, Sutoyo adalah gay dan ODHIV.
“Saya cuma kasih tahu Papa dan Mama kalau saya gay, juga ODHIV. Sekarang mereka sudah menerima saya. Mereka ingatkan untuk minum obat setiap hari,” ungkap Sutoyo.
Meski kini status virus HIV di dalam dirinya tidak terdeteksi, berdasarkan Tes Viraload yang tersedia di RSUD Prof Dr WZ Johannes Kupang, Sutoyo masih enggan terbuka kepada orang lain tentang identiasnya sebagai gay dan ODHIV.
“Nanti saya makin dikucilkan, keluarga saja juga akan kena. Saya nggak mau,” tambahnya.
Kekhawatiran Sutoyo adalah sesuatu yang berdasar kalau melihat perlakuan dan pengalaman tidak menyenangkan juga dialami oleh Yolanda (bukan nama sebenarnya), transpuan dan ODHIV.
Yolanda yang sehari-harinya bekerja dengan menjaja jasa tata rias dan kecantikan ini juga dijauhi dan kerap menjadi buah bibir di antara teman-teman komunitas transpuannya.
Yolanda bingung, dari mana informasi kesehatannya itu bisa tersebar. Menurut Yolanda, status ODHIV seseorang memang kerap menjadi obrolan masyarakat, tidak terlepas dari lingkungan komunitasnya. Meski begitu, Yolanda yang hidup sendiri di Kupang ini berusaha memaklumi dan menerima perlakuan teman-temannya.
“Saya transpuan, sulit diterima masyarakat. Di komunitas itu saya dapat jadi diri sendiri, saya senang. Kalau dijadikan omongan, ya saya pasrah saja, saya tidak punya orang lain,” ucapnya.
Yolanda sendiri tak banyak bercerita tentang respon lain dari teman-teman, masyarakat ataupun keluarga tentang statusnya sebagai ODHIV. Ia hanya berharap, kejadian tak menyenangkan seperti dikucilkan dan terus menerus dibicarakan tidak dialami oleh teman-teman ODHIV lainnya.
“Tak ada seorangpun yang sejak lahir berhadap jadi ODIV kan,” harapnya.
Itu juga yang disampaikan oleh Mateus, Pimpinan Yayasan Flobamora Jaya Peduli, organisasi yang fokus terhadap isu HIV/AIDS di Kupang. Menurutnya, sudah ada upaya dari sejumlah pihak, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta yang kerap melakukan sosialisasi dan pendidikan terkait penularannya.
“Juga terus mengkampanyekan setop diskriminasi terhadap ODHIV,” sambungnya.
Tidak Sulit Dapatkan Layanan ARV
Terlepas dari diskriminasi lingkungan masyarakat dengan menjadi ODHIV, Sutoyo dan Yolanda tak kesulitan mendapatkan antiretroviral (ARV) yang harus rutin dikonsumsi oleh ODHIV. Rutinitas pemeriksaan medis (fisik) juga tidak sulit mereka dapatkan di kota Kupang.
“Paramedis yang melayani ramah, obat-obatan tersedia selalu,” tambahnya.
Menurut Mateus, kondisi ketersediaan ARV di Nusa Tenggara Timur (NTT) selain Kupang, juga tak ada masalah. Kesulitannya hanyalah akses untuk mendapatkannya.
“Sekalipun gratis, namun tempat layanannya hanya satu rumah sakit, kadang jauh dari lokasi atau domisili ODHIV,” beritahunya.
Berbeda dengan hal itu, ARV di Kota Kupang terlayani di tiga rumah sakit, masing-masing RSU Prof Dr WZ Johannes, Rumah Sakit Tentara (RST) Wira Sakti serta RSU SK Lerik Kupang. Disampaikan Mateus pada dasarnya pelayanan obat-obatan dan pemeriksaan medis rutin untuk ODHIV dilakukan secara gratis.
“Ada juga yang pakai biaya administrasi pendaftaran di loket, besarannya sesuai kebijakan rumah sakit terkait. Tapi kalau obatnya, pemeriksaan medis semuanya gratis,” ucapnya.
Mateus juga menjelaskan bahwa dikarenakan pengadaan ARV dan pemeriksaan medis rutin bagi ODHIV mendapatkan subsidi pemerintah pusat melalui APBN, ini yang menyebabkan tidak adanya kesulitan dalam akses pengobatan bagi ODHIV di Kupang.
Bahkan di awal pandemi saat suplai ke Kota Kupang terlambat dikarenakan pengiriman ARV dilakukan melalui jalur laut sebab beberapa negara menutup penerbangan internasional, siklus pengobatan ODHIV di Kota Kupang tidak terganggu sama sekali.
“Sejauh ini lancar-lancar saja, stok pun tersedia. Saya tidak menemukan keluhan kesulitan pengobatan,” tambah Mateus.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Kupang Sri Wahyuningsih bahwa stok ARV selalu tersedia bahkan menjadi salah satu perhatian Dinkes. “Kami terus pantau ketersediaanya, agar siklus konsumsi ODHIV tak terputus,” katanya.
Sementara Direktris RSU SK Lerik Kota Kupang dr Marciana Halek juga membenarkan pemberian ARV dan pengobatan medis di klinik VCT rumah sakit tersebut tak berbiaya alias gratis.
“Tak ada biaya apapun termasuk biaya loket khusus untuk layanan Odhiv di klinik VCT. Biaya loket hanya berlaku bagi layanan bagi pasien pada poli atau klinik penyakit lainnya,” katanya.
Dokter Marciana bahkan meminta ODHIV untuk melakukan kontak langsung dengan dokter dan atau paramedis lain yang mengelola klinik VCT agar pengurusan obat dan pemeriksaan kesehatan tak perlu melalui loket.
Wasty, pendamping VCT di RSU Prof Dr WZ Johannes Kupang membenarkan bahwa ARV diberikan secara cuma-cuma, hanya saat pendaftaran di loket akan dikenakan biaya administrasi.
“Sebesar 25 ribu untuk biaya loket administrasi, ini sudah jadi keputusan manajemen,” tambahnya.
Kondisi stok ARV yang lancar dan pemeriksaan medis yang difasilitasi, mendorong Sutoyo aktif minum obat dan rutin memeriksakan kondisi kesehatan hingga virus tidak terdeteksi di tubuhnya lagi.
Selain itu yang juga mendorongnya adalah motivasi untuk terus dapat hidup dan berkarya. Ia ingin semangatnya itu dapat tertular pada ODHIV lainnya.
“Semoga tak ada lagi stigma negatif dan perlakuan tak adil bagi kami para ODHIV, juga pada komunitas LGBT di kota ini,” harap Sutoyo menutup pembicaraan siang ini.