JAKARTA - Plt Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan bahwa lembaga antirasuah tidak pernah menyematkan status Justice Collaborator (JC) kepada mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin. Sontak, pernyataan itu bertentangan dengan keterangan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham.
Ali menjelaskan, pihaknya pada 9 Juni 2014 dan 21 Juni 2017, memang pernah menerbitkan surat keterangan bekerjasama untuk M. Nazaruddin. Penerbitan surat keterangan bekerjasama itu diberikan karena Nazaruddin mengungkap perkara korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
Kemudian, perkara pengadaan E-KTP di Kemendagri dan perkara dengan terdakwa Anas Urbaningrum serta telah membayar lunas denda ke kas Negara. Namun, surat keterangan bekerjasama tersebut, ditegaskan KPK, bukan sebuah bentuk penetapan Nazaruddin sebagai JC.
"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ (M Nazaruddin)," tegas Ali Fikri melalui pesan singkatnya, Rabu (17/6/2020).
Ditambahkan Ali, pimpinan KPK periode sebelumnya juga tidak pernah menetapkan Nazaruddin sebagai JC. "Pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M. Nazarudin sebagai Justice collaborator (JC)," tekannya.
Menurut Ali, status JC dan surat keterangan bekerja sama merupakan dua hal berbeda. JC diberikan KPK saat proses hukum masih berjalan dan diputuskan oleh Majelis Hakim. Sementara surat keterangan bekerja sama diberikan KPK saat perkara hukum yang menjerat Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerjasama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerjasama pada pengungkapkan perkara dan perlu diingat saat itu dua perkara MNZ telah inkracht," terangnya.
Baca Juga :Â Tembus 1,1 Juta, Banyak Pemohon SIKM Jakarta Tak Paham Persyaratan
KPK menyayangkan langkah Ditjenpas yang memberikan cuti menjelang bebas kepada Nazaruddin. Ali mengatakan, KPK setidaknya telah tiga kali menolak memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjenpas Kemenkumham, M. Nazarudin maupun Penasihat Hukumnya.
"Yaitu pada sekitar bulan Februari 2018, bulan Oktober 2018 dan bulan Oktober 2019," imbuhnya.
KPK berharap Ditjenpas dapat lebih selektif dalam memberikan hak binaan, seperti remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi dan lainnya kepada napi kasus korupsi. Hal ini lantaran korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
"Mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat," katanya.