JAKARTA - Kuasa hukum Setya Novanto (Setnov), Maqdir Ismail menjelaskan alasan kliennya langsung mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) terkait perkara korupsi proyek e-KTP ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut Maqdir, ada beberapa alat bukti atau fakta baru (novum)‎ terkait korupsi proyek e-KTP yang menyeret Setya Novanto. Novum tersebut, kata Maqdir, yakni pertentangan putusan dan kekhilafan hakim.
Baca Juga:Â Setya Novanto Ajukan PK, Sidang Perdana Digelar Hari IniÂ
"Alasannya ada Novum. Ada pertentangan putusan dan ada kekhilafan hakim," kata Maqdir saat dikonfirmasi, Rabu (28/8/2019).
Â
Setnov sendiri diketahui tidak mengajukan upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi setelah adanya vonis di tingkat pertama atau pengadilan tipikor.‎ Setnov langsung mengajukan PK setelah hampir setahun setelah vonis di tingkat pertama.
Kata Maqdir, ada lima novum yang diserahkan pihaknya ke MA. Dia berharap kliennya dapat bebas dari semua dakwaan karena telah adanya novum baru tersebut.
"Harapannya bebaslah. Kita menyatakan bahwa dakwaan itu tidak terbukti dan dakwaan yang dianggap terbukti itu dakwaan yang salah," ucapnya.
Dalam perkara ini, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara serta diwajibkan ‎membayar denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan di tingkat pertama atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selain itu, hakim Pengadilan Ti‎pikor juga mengganjar Setnov untuk membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat yang apabila tidak dibayarkan maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Bila hartanya tidak mencukup maka akan diganti pidana 2 tahun penjara.
Baca Juga:Â Kembali ke Lapas Sukamiskin, Setnov Kini Rajin ke MasjidÂ
Atas putusan tersebut, Setya Novanto maupun Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding‎. Berdasarkan aturan PK, Setnov diperbolehkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yakni PK walaupun tidak mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Setnov sendiri telah menjalani masa hukuman sekira satu tahun setelah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan e-KTP yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
(fid)