SETIDAKNYA 213 orang yang terdiri dari mahasiswa Papua dan kelompok solidaritas ditangkap saat hendak melakukan aksi demonstrasi damai terkait New York Agreement di sejumlah kota seperti Ternate, Ambon, Malang, Surabaya, dan Jayapura pada akhir pekan lalu.
Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta, menyebut tindakan polisi kali ini lebih represif dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebab, jumlah korban luka berat lebih banyak yaitu 12 orang dan belasan lainnya luka ringan.
"Kalau ditanya apakah ini penangkapan terbesar? Bukan. Tapi yang saya perhatikan, tindakan represi polisi di Jawa meningkat sejak 2018-2019," ujar Surya Anta kepada wartawan di Jakarta, Minggu 18 Agustus 2019.
Juru bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo, menyebut tindakan pembubaran aksi demonstrasi oleh mahasiswa Papua dan kelompok solidaritas di beberapa daerah seperti Ternate, Malang, dan Ambon, sudah sesuai prosedur yang tercantum dalam Perkap tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Sebab dalam aksi penyampaian pendapat di muka umum, setiap warga negara harus "menjaga persatuan dan kesatuan NKRI". Kalau hal itu dilanggar, kata Dedi, maka patut dibubarkan.
Diskusi maupun aksi di beberapa kota menyinggung peristiwa 15 Agustus 1962 atau yang disebut sebagai New York Agreement.
Perjanjian penyelesaian sengketa Papua Barat antara Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat itu melahirkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dianggap menyalahi hukum internasional, sebab tidak dilakukan dengan sistem satu orang satu suara.
Menurut Surya Anta, saat menggelar aksi di Malang dan Ternate, massa mendapat kekerasan fisik dan verbal.
"Dimaki-maki menggunakan nama binatang, dilempari dan dipukuli oleh aparat berpakaian preman. Enam orang terluka parah," katanya.
Polisi berjaga di sekitar Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pasca-menangkap 43 mahasiswa (Syaiful/Okezone)
"Korban-korban yang ada di Malang, kepalanya robek terkena lemparan. Bibirnya pecah karena dipukul. Telinga juga tergores kena lemparan," sambungnya.
Kendati demikian, tindakan penangkapan maupun dugaan pemukulan oleh polisi itu tidak akan dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian (Propam), kata Albert Mungguar selaku perwakilan mahasiswa Papua. Sebab, pihaknya ragu akan ditindaklanjuti.
"Data-data akan dikumpulkan dan kami bakal melapor ke ULMWP sebagai bahan laporan ke PBB sebagai data diskriminasi rasial. Percuma ke Komnas HAM atau Propam," ungkapnya.
'Menghalau asap'
Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menyebut tindakan kepolisian terhadap aksi demonstrasi mahasiswa Papua seperti "menghalau asap tapi tidak memadamkan bara apinya." Sebab, kata Adriana, semakin aparat bertindak represif, militansi para mahasiswa Papua semakin kuat.
Karena itu, menurutnya, kepolisian harus mengubah prosedurnya ketika menghadapi pendemo ataupun mahasiswa Papua.
"Makin ditekan (mereka) makin tidak takut. Mungkin dengan harapan ditindak tegas, mereka akan menyerah, ternyata tidak. Justru makin berani berekspresi. Ini kan salah pendekatan," ujar Adriana Elisabeth kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu kemarin.
"Kalau yang saya lihat, aparat cenderung tidak paham cara menghadapi mahasiswa Papua yang bergerak begitu," sambungnya.