Siapa pernah mengira, Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang tentara yang berdinas sebagai prajurit TNI AD dan berpangkat Letnan Jenderal.
Hal ini tentu beralasan, karena seorang Sultan Yogyakarta sejatinya hanya bertugas memimpin kerajaan atau kesultanan daerah itu dan menjadi pimpinan (gubernur) wilayahnya. Namun itu berbeda dengan Sultan Yogyakarta IX putera dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara ini.
Sebagai prajurit TNI, jenderal bernama lengkap Gusti Raden Mas Dorodjatun Hamengkubuwono IX yang terlahir pada 12 April 1912 itu pernah berjibaku berjuang mempertahankan kemerdekaan di masa-masa sulit setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Sejumlah pertempuran yang pernah dilakoni sang tentara yang berdinas pada 1945-1953 itu antara lain, memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, Revolusi Nasional Indonesia, Agresi Militer Belanda II serta Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil. Kesemuanya dihadapi dengan kemenangan dan tercatat dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Tak berhenti di situ, Sultan Yogyakarta yang dinobatkan pada 18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwono Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat" itu juga adalah yang pertama kali memilih berseberangan dengan Penjajah Belanda dan kuat memperjuangkan dan mempertahankan kemeredekaan Indonesia.
Sebagai Sultan yang sejak usia 4 tahun hidup terpisah dengan orang tuanya, Hamengkubuwono IX punya semangat juang yang tak kenal pudar.
Kemandiriannya yang tertanam dalam kehidupannya sejak balita itulah telah mendorongya untuk menjadikan negeri ini merdeka bebas dari intervensi penjajah. Bahkan berbekal pendidikannya yang dimiliki, jebolan di Europeesche Lagere School Yogyakarta, Hoogere Burgerschool Semarang, Hoogere Burgerschool te Bandoeng serta menamatkan kuliah di Rijkuniversiteit yang sekarang dikenal sebagai Universitas Leiden Belanda itu, sudah memperjuangkan status Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Permintaan status khusus ‘Istimewa” bagi Yogyakarta itu tidak hanya dimintakan dari pemerintah RI, namun juga dari pemerintah Belanda yang kala itu masih menduduki Indonesia. Bersama diplomat senior asal Belanda Dr Lucien Adam, Sultan bernegosiasi untuk mendapatkan hak otonomi itu.
Usai mendapatkan status khusus ‘istimewa’ itu, Sultan lalu mulai menata wilayah istimewa itu. Dia pun lalu diangkat menjadi Gubernur DIY sejak 1945.
Di masa pemerintahan itulah, sejumlah kebijakan dikeluarkan Sultan. Bersama Paku Alam IX, Sultan lalu memilih menggabungkan wilayah kekuasaannya Yogyakarta ke pangkuan RI.
Pasca-bergabung dengan RI, Sultan lalu mulai melakukan sejumlah gerakan gerilya dengan membantu para pejuang termasuk berdonasi untuk mendukung perjalanan pemerintahan Indonesia setelah proklamasi.
Di tengah kesulitan ekonomi yang menjerat perjalanan pemerintahan Indonesia saat itulah, bekas Menteri Utama Bidang Ekuin di era Presiden Soekarno itu lalu menghibahkan anggaran 6.000.000 Golden.
Dana sumbangan dari kekayaan Bapak Pramuka Indonesia itu dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya.
Baca Juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, Pengawas KKP Lakukan Upacara Bawah Laut