JAKARTA - Salah seorang wanita asal Kalimantan Barat, bernama Monika menjadi salah satu korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan pesanan di Tiongkok.
Monika menceritakan, awalnya ia berkenalan dengan tiga orang wanita perantara pencari jodoh atau mak comblang pada September 2018 untuk dinikahkan dengan laki-laki asal Tiongkok. Dengan iming-iming sejumlah uang dan hidup sejahtera dirinya mau untuk menikah dengan laki-laki tersebut.
Setelah menikah, dia kemudian langsung dibawa ke Tiongkok. Meski sempat menaruh curiga lantaran tidak boleh mengunggah foto ke media sosial, namun karena diyakinakan aman oleh mak comblang dirinya pun berangkat ke Tiongkok.
"Curiga soalnya mereka bilang pas foto itu kamu jangan ke media, foto kita nanti ketahuan polisi bahaya. Saya tanya ke mak comblangnya ini aman enggak sih? Resmi enggak sih? Dia bilang, kamu aman," kata Monika di Kantor LBH Jakarta, Minggu (23/6/2019).
Namun setelah tiba di Tiongkok, harapan hidup sejahtera hilang setelah pada kenyataannya justru mendapat kekerasan oleh sang suami dan pelecehan dari mertuanya. Ia juga dipekerjakan merangkai bunga untuk dijual tanpa upah. Merasa tidak sesuai dengan janji sebelum pernikahan, Monika menghubungi mak comblang namun tidak dapat dihubungi.
"Mak comblangnya ada tiga semuanya perempuan, Jakarta satu, Singkawang satu, Pontianak satu orang. Pasa saya hubungi enggak ada kabar semua enggak aktif semua nomornya. Semuanya bohong," tuturnya.
Baca Juga: Jaringan Buruh Migran Ungkap Perdagangan Orang Modus Perkawinan Pesanan
Kabur dari Tiongkok
Tidak betah dengan perlakukan sang suami dan mertua, Monika memberanikan diri untuk kabur dari rumahnya di Tiongkok dengan menyetop bus menuju terminal Wuji. Setelah itu Ia melanjutkan perjalanan menggunakan taxi menuju kantor polisi di Hebei.
Setibanya di kantor polisi Monika diinterogasi terkait keberadannya di Tiongkok. Ia kemudian meminta polisi untuk menghubungi KBRI Indonesia agar bisa dipulangkan ke Indonesia. Namun, dia tidak bisa pulang lantaran parpor miliknya masih ditangan suami.
Polisi kemudian meminta paspor miliknya namun ditahan hingga pada akhirnya setelah dipaksa pihak kepolisian, keluarga memberikan paspor Monika. Nahasnya selama pengurusan paspor itu, ia tinggal di penjara selama tiga hari tanpa mendapat makanan.
Di hari ketiga di penjara, ipar suaminya mengembalikan paspor tersebut kepada Monika. Ia kemudian diajak iparnya menuju sebuah apartemen di kota Wuhan. Sayangnya setelah diajak ke apartemen a justru ditahan dan diminta untuk mengembalikan uang sebesar Rp100 juta rupiah sebagai ganti rugi.