JAKARTA – Gulbachar Jalilova (54), terbata-bata saat menceritakan kekejaman yang ia alami saat harus menjalani penahanan di Provinsi Xinjiang, China beberapa waktu lalu. Sesekali ia meneteskan air mata karena betapa sadisnya penyiksaan yang menimpa dirinya.
Ibu tiga anak itu menjalani penyiksaan selama 16 di kamp bagi muslim Uighur yang dianggap pemerintah setempat sebagai fasilitas pendidikan keterampilan dan baru dibebaskan pada September 2018 lalu. Ia bisa bebas lantaran memiliki passport warga negara Kazakhstan.
"Alhamdulilah saya bisa keluar karena saya warga negara Kazakhstan," kata Gulbachar yang diterjemahkan relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ke Bahasa Indonesia di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (12/1/2019).
Gulbachar dengan mata berkaca-kaca kembali melanjutkan ceritanya. Mereka yang ada di sana dikumpulkan di dalam satu ruangan dan diawasi dengan kamera pengintai. Seluruh korban Uighur itu dilarang melakukan ibadah sebagai umat Islam.
"Korban-korban yang berada di sana tidak bisa keluar karena kegiatan seharian hanya di dalam satu ruangan. Ibadah dan salat bahkan aplikasi ditemukan ayat Alquran gambar masjid hal-hal yang berbau Islam," kata dia.
Setiap hari mereka yang berada di dalam kamp itu dipaksa bangun sejak pukul 05.30 dan baru bisa tidur sekira pukul 22.30. Selama itu mereka dilarang bergerak karena bila ketahuan melalui kamera pemantau akan dikira sedang beribadah.
"Satu layar TV, ada presiden TV di China enggak boleh bergerak sama sekali. Mereka wajib duduk aja. Jika ada saja yang menoleh, dianggap melaksanakan ibadah akan dapat penyiksaaan dan hukuman," ujarnya.
Semua tahanan di sana, kata dia, tangan dan kakinya diborgol. Bahkan untuk borgol kaki beratnya mencapai 5 kilogram. Mereka hidup dalam kelaparan dan kehausan. Ketika mereka mengeluh akan hal itu maka dikira penjaga di sana sedang merencanakan sesuatu.
"Hidup dalam kelaparan, dahaga, disiksa. Saya sendiri selama ditahan turun 20 kilogram," kata dia.
Yang lebih kejam dari penyiksaan itu, yakni ada seorang perempuan sudah hamil tua dan akhirnya melahirkan, lalu dia harus dipisahkan dengan sang buah hati. Sehingga, anak bayi itu tak mendapatkan ASI yang harusnya ia terima.
"Ada di antara perempuan sudah hamil besar dan melahirkan, anak ibu dipisahkan dan sama sekali tidak diberikan ASI," ucapnya.
Gulbachar akhirnya bisa keluar dari kamp itu berkat kegigihan keluarga dan pemerintah Kazakhstan yang melakukan lobi ke China. Tiga hari jelang jari pembebasan ia diasingkan dengan muslim Uighur lainnya.