PRESIDEN Joko Widodo diminta mengeluarkan amnesti, bukan grasi, untuk Baiq Nuril Maknun yang oleh Mahkamah Agung dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. MA menyatakan Baiq "telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA mengatakan Baiq dianggap terbukti "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan".
Aziz Fauzi, pengacara Baiq Nuril, mengatakan tawaran grasi dari Presiden Jokowi akan ditolak karena grasi menyiratkan kliennya bersalah.
"Grasi itu kan artinya klien kami dinyatakan bersalah dan minta ampun. Sementara kondisi perkara Baiq Nuril, klien kami tak salah. Putusan Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Baiq tidak terbukti bersalah," kata Aziz kepada Quin Pasaribu untuk BBC News Indonesia, Selasa 20 November 2018.
"Hukum formilnya menunjukkan, bukti-bukti yang diajukan untuk menjerat klien kami itu tidak sah dan cacat dan bertentangan dengan pasal 5 dan 6 UU ITE dan KUHAP. Jadi tak ada alasan menyatakan klien kami bersalah," tegas Aziz.
Ia menambahkan bahwa pihaknya akan tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK), begitu salinan kasasi diterima.
Hari ini, Rabu (21/11/2018), ia berencana mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta bantuan saksi ahli dalam pengajuan PK.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan pemberian grasi tidak sesuai dengan konteks kasus yang menjerat Baiq Nuril.
Menurut Bivitri, grasi mensyaratkan minimal hukuman terdakwa dua tahun, mendapat persetujuan dari DPR, dan diajukan oleh terpidana. Sementara Nuril hanya diancam penjara enam bulan.
Bentuk pengampunan yang tepat diberikan kepada Nuril adalah amnesti karena tidak harus menunggu proses Peninjauan Kembali (PK) berjalan.
"Kalau grasi saya kira dalam kasus Baiq Nuril tidak tepat karena sanksinya beda dalam aturan dan harus ada permintaan dari Baiq. Sementara PK itu adalah upaya hukum luar biasa jika ada bukti baru," jelas Bivitri.
"Kalau mau dimulai proses amnesti sangat baik, karena proses PK itu tidak mudah dan harus ada novum," katanya.
Dia juga mengatakan, dengan memberikan amnesti kepada Baiq Nuril maka ini bisa menjadi pelajaran bagi peradilan, hakim, dan aparat penegak hukum dalam menangani persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan perempuan.
Dalam catatannya, hakim "kerap mengabaikan" Peraturan MA (Perma) nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
"Kalau mau memberi amnesti, Presiden harus punya pesan kuat untuk publik bahwa ini masalah yang mendasar di lembaga peradilan dan aparat hukum secara umum. Kita tak bisa menyalahkan MA saja, tapi jaksa juga, termasuk penyidik. Karena paradigma aparat hukum tentang kasus yang dihadapi perempuan harus diperbaiki," tandasnya.
Hal lain yang juga harus diperhatikan yakni penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut dia, beleid ini kerap digunakan tidak sebagaimana mestinya dan selalu merugikan perempuan.
Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu.
Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti menyebutkan akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.
Akan tetapi pemberian amnesti harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Grasi, menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002, adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah, namun memohon pengampunan kepada kepala negara. Tindak pidana atau kesalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni.
Grasi harus dimohonkan seseorang atau terpidana kepada Presiden.