JAKARTA – Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengimbau para pasien lebih selektif dalam menentukan metode pengobatan. Hal itu menyusul kontroversi terapi "cuci otak" yang digagas Dokter Terawan Agus Putranto untuk pasien penderita stroke. Pasalnya, terapi yang menggunakan alat digital substraction angiogram (DSA) ini dianggap oleh kalangan kedokteran tidak tepat untuk digunakan sebagai metode pengobatan.
"Kalau dari sisi konsumen itu prinsipnya ketika kita berhubungan dengan dokter, pasien berhak mendapatkan informasi. Setelah mendapat informasi, dia ragu-ragu, dia berhak mendapatkan second opinion dari dokter lain, sehingga jangan percaya dengan satu dokter. Harus selektif," ujar Sudaryatmo usai menghadiri Redbons Discussion bertajuk 'Kontroversi Cuci Otak Dokter Terawan' di Kantor Redaksi Okezone, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 10 April 2018.
Dokter Terawan bersama para pasiennya (Foto: Fakta TNI-Polri/Twitter)
Ia menerangkan, pilihan menggunakan suatu metode terapi memang hak setiap konsumen. Meski demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum menentukan terapi yang dipilih. Salah satunya adalah kompetensi dokter yang bersangkutan.
"Pasien harus lebih aktif mencari tahu, apakah dokter yang menanganinya itu sesuai dengan kompetensinya. Itu harus dipertimbangkan. Untuk memastikan metode ini sudah teruji, pasien bisa bertanya kepada dokter lain di bidang yang sama untuk menguji metode pengobatan tadi," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memberikan sanksi berupa pemecatan selama 12 bulan terhadap Dokter Terawan. Ia dianggap telah melanggar Pasal 4 Kode Etik Kedokteran yang berisi: "Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri."
Lalu di Pasal 6 Kode Etik Kedokteran berisi: "Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat."
Pengurus Besar IDI kemudian memutuskan menunda pemecatan tersebut sembari mengumpulkan bukti-bukti kuat yang akan menentukan nasib akhir Dokter Terawan, apakah terbebas dari pemecatan atau justru sebaliknya.
Sikap IDI pun menyebabkan masyarakat luas menjadi bingung dan tidak mengetahui secara pasti, apakah metode "cuci otak" tersebut memang aman digunakan atau tidak.
(han)