JAKARTA - Undang Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) telah diberlakukan sejak 14 Maret, meski tanpa ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Revisi UU MD3 sejak disahkan hingga kini masih menuai polemik. Hal tersebut lantaran di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi. Aksi unjuk rasa menolak undang-undang tersebut sempat terjadi di berbagai daerah.
Bahkan, begitu UU MD3 diberikan nomor, sudah ada warga yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Lalu, pasal-pasal mana saja yang menuai protes dari public?
Okezone telah merangkum tujuh pasal dalam UU MD3 yang menuai kontroversi, sebagai berikut:
1. Pasal 112 Huruf K
Revisi pasal 122 Huruf K dinilai paling banyak menuai kontroversi. Hal tersebut lantaran dalam pasal ini, DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal terhadap hukum. Mahkamah Kehormatan Dewan diperbolehkan mengambil langkah hukum jika ditemui adanya pengkritik yang mengomentari kinerja DPR. Dengan diberlakukannya pasal tersebut, dikhawatirkan justru akan mengebiri praktik demokrasi di Indonesia.
"Salah satu dampak dari pasal ancaman pidana kepada rakyat dalam UU MD3, demokrasi semakin mundur dan DPR semakin tidak mau dikontrol. Ketentuan pasal ini kontroversi, ini pasal mengancam. Dengan pasal ini seolah-olah rakyat diancam oleh wakilnya sendiri untuk tidak boleh keras keras mengkritik wakilnya," ujar pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Hajar Fickar beberapa waktu lalu.
2. Pasal 73 Ayat 4
Dalam pasal ini diatur bahwa DPR berhak melakukan panggilan secara paksa melalui kepolisian kepada siapapun yang mangkir dalam memenuhi panggilan DPR sebanyak tiga kali. Dengan diberlakukannya pasal tersebut, DPR sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan dalam memanggil paksa siapapun yang dinilai tidak kooperatif.
(Baca juga: UU MD3 Resmi Berlaku, Menkumham: Kalau Mau Judicial Review Silakan)
Dengan kewenangan yang dimilikinya tersebut, pemanggilan paksa akan menjadi rawan diwarnai kepentingan politik, individu, mapun institusi DPR itu sendiri sebab DPR merupakan lembaga politik.
3. Pasal 15
Melalui revisi pasal 15, porsi untuk pimpinan MPR ditambah. Sehingga, pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua dan 7 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
Pasal ini pun menuai kontroversi karena jumlah pimpinan genap akan menyulitkan dalam mengambil keputusan sehingga berpotensi deadlock.
4. Pasal 84
Dalam pasal 84, pimpinan DPR pun turut mendapatkan tambahan satu kursi. Total keseluruhan pimpinan DPR menjadi 6 orang, terdiri atas 1 orang ketua dan 5 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(Baca juga: UU MD3 Berlaku, Bamsoet: Saya Jamin Siapapun yang Kritik DPR Tak Akan Dikriminalisasi)
Sama halnya dengan pasal 15, pasal ini berpotensi menimbulkan hasil deadlock saat pengambilan keputusan karena jumlah pimpinan ganjil.
Follow Berita Okezone di Google News