JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Emir Moeis kini telah bebas, setelah menjalani masa hukuman selama tiga tahun di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Matheus Samiadji menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp150 juta diganti kurungan tiga bulan penjara kepada Emir untuk kasus tender PLTU Tarahan Lampung pada 2004. Majelis hakim menyatakan Emir bersalah karena semasa menjadi Ketua Komisi XI DPR menerima gratifikasi untuk memenangkan konsorsium Alstom Power Inc.
Padahal, dakwaan dan putusan majelis hakim tersebut hanya berdasarkan fotokopi dokumen kontrak, dengan tanda tangan dan paraf. Apalagi, tambah Emir, dirinya dijadikan tersangka tanpa pernah dipanggil.
“Saksi-saksi pun baru diperiksa setelah saya dijadikan tersangka. Dan, tidak ada seorang pun saksi-saksi pejabat di Proyek Tarahan yang mengenal saya, apalagi berbicara soal proyek. Penegak hukum terlalu percaya kepada kebohongan Pirooz, seorang warga negara Amerika Serikat, yang memalsukan dokumen-dikumen kontrak," tutur Emir yang didampingi kuasa hukumnya, Erick S.Paat kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/7/2016). "Saya tidak mencari keadilan, karena saya telah dihukum dan kini telah bebas. Saya akan mengungkap kebenaran," imbuh Emir.
Diungkapkan Emir, satu-satunya dokumen yang paling memberatkan dirinya dalam kasus gratifikasi tersebut adalah dokumen kerja sama bantuan teknis antara PT Artha Nusantara Utama (ANU) yang ditandatangani Zuliansyah Putra Zulkarnain selaku direktur utama dengan Pirooz Sharafi selaku Presiden Pacific Resources Inc.
“Pada saat pemeriksaan di KPK, Saudara Zuliansyah sangat terkejut ketika ditunjukkan kontrak kerja sama teknis tersebut. Karena, isinya sangat berbeda dengan apa yang diperjanjikan, yaitu untuk bantuan teknis dalam rangka pencarian lokasi batubara, lahan kelapa sawit di Kalimantan Timur, serta pembangunan stasiun Elpiji di Bali,:" terang Emir.
Sedangkan dalam isi kontrak yang ditunjukkan KPK tersebut, lanjut Emir, tentang tender pembangunan power plant di Tarahan. Zuliansyah melihat ada perubahan dan pergantian substansi dan dokumennya di situ.
"Dari enam lembar dokumen, hanya lembar terakhir dari dokumen itu yang asli dan ditandatangani Saudara Zuliansyah, sedangkan lembar pertama hingga kelima dari dokumen asli telah diganti dengan dokumen yang dipalsukan. Saat itu juga, Saudara Zuliansyah mengatakan kepada penyidik KPK bahwa dokumen itu tidak benar dan parafnya dipalsukan. Saudara Zuliansyah pun meminta dokumen asli ke penyidik KPK. Ketika itu, penyidik KPK mengatakan, nanti akan memperlihatkan dokumen aslinya. Namun, sampai pemeriksaan selesai, dokumen asli tersebut tidak diperlihatkan. Kemudian saya pun divonis bersalah. Saya benar-benar dibantai,” ungkap Emir Moeis. Permintaan yang sama juga diajukan Zuliansyah lagi ketika menjadi saksi di sidang pengadilan Emir. Juga soal paraf yang dipalsukan itu.
Erick S.Paat selaku kuasa hukum pun meminta hal yang sama. “Namun, majelis hakim tidak merespons permintaan tersebut dan mengabaikan soal ini. Nama Emir hanya dijual oleh Pirooz M. Sharafi seolah-olah menerima gratifikasi, padahal Emir tidak pernah tahu ataupun terlibat bahkan berjanji apapun terhadap PT Alstom," kata Erick.
Erick melanjutkan, Pirooz bahkan memalsukan kontrak antara perusahaannya dengan PT. Artha Nusantara Utama (ANU). Artinya, seolah olah ada kerjasama di bidang kelistrikan dengan PLTU Tarahan. Padahal, kerjasama bisnis yang sesungguhnya adalah di bidang pertambangan batu bara dan pengisian gas Elpiji.
"Anehnya, oleh Pirooz kontrak palsu tersebut yang dipakainya untuk menagih sejumlah besar uang ke Alstom Power," terang Erick.
Ironisnya, pembayaran dari Alsthom kepada Pirooz yang oleh otoritas Amerika dianggap sebagai penyuapan internasional. Bahkan, dua eksekutif Alstom dipenjara karenanya. Padahal eksekutif tersebut tidak pernah berbuat atau pun berjanji kepada Emir Moeis untuk memberikan hadiah. "Semua itu hanya akal-akalan Pirooz. Oleh otoritas Amerika Serikat dijadikan 'corporate witness', sebagai aktor tunggal dalam kasus ini. Sayangnya, KPK tidak menghadirkan Pirooz dalam proses pengadilah Emir Moeis sebagai saksi dengan alasan karena jauh," papar Erick.
Karena merasa telah terjadi pemalsuan dan pengaburan hukum, Zuliansyah telah melaporkan soal ini ke Bareskrim Polri. Dan, Bareskrim Polri juga telah mengeluarkan SP2HP, yang isinya menyatakan pihak Bareskrim Polri belum menemukan dokumen asli. Bahkan, pihak Bareskrim Polri juga telah mengirimkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penuntut umum dan penyidik untuk menanyakan soal dokumen asli itu. “Anehnya, pihak KPK menjawab bahwa KPK tidak memiliki dokumen asli tersebut. Ini benar-benar absurd. Sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum seharusnya KPK bekerja menggunakan data yang otentik,” ungkap Emir.
Emir sendiri pernah diperiksa Bareskrim Polri, sebagai saksi atas pengaduan yang telah dilakukan Zuliansyah terkait pemalsuan dokumen dan paraf tersebut. Rencananya pada 27 Juli 2016, Emir dan pengacaranya akan mendatangi Bareskrim Polri, untuk menanyakan kelanjutan laporan Zuliansyah.
“Kebenaran harus diungkap. Seperti juga pernah dikatakan Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati, kasus yang melilit saya ini benar-benar kasus politik, bukan kasus hukum. Apalagi, nama saya juga pernah dibawa-bawa dan dicatut oleh Abraham Samad sewaktu menjadi Ketua KPK, yang mengatakan hukuman saya akan diringankan kalau PDI Perjuangan merekomendasikan dirinya sebagai calon wakil presiden,” tutur mantan Bendahara Umum PDI Perjuangan itu.
Follow Berita Okezone di Google News
(ful)