JAKARTA – Pemberian bebas visa kunjungan kepada banyak negara mendapat perhatian Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanti. Dia menilai pemberian bebas visa kunjungan kepada banyak negara menunjukkan langkah panik pemerintah demi target wisata.
Ia pun meminta pemerintah melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan aspek politik, pertahanan, budaya dan ekonomi. Termasuk dengan cermat memerhatikan dampaknya bagi kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia, narkoba dan terorisme.
Hal itu disampaikan anggota tetap Inter-Parliamentary Union (IPU) Standing Committee on United Nations Affairs ini, di Jakarta, hari ini, menyusul rencana pemerintah untuk memperluas negara penerima fasilitas bebas visa menjadi 174 negara.
“Ini bentuk kepanikan Menteri Pariwisata saja untuk kejar target 20 juta wisatawan, padahal dari pengalaman Indonesia selama ini, kedatangan wisman itu tidak terlalu dipengaruhi oleh bebas visa tapi ada something wrong, termasuk bagaimana strategi marketing kita, baik itu promosi dan branding,” sambung Evita yang juga Wakil Ketua Umum Indonesia Congress and Convention Association (Incca), Kamis (24/12/2015).
Sebagai contoh tahun 2000 jumlah wisatawan ke Indonesia itu sebanyak 5 juta, lalu 2008 hanya naik menjadi 6,4 juta, dan 2014 lalu menjadi 9,4 juta. Dulu tahun 1983 melalui Kepres Nomor 15 Tahun 1983 tentang Kebijaksanaan Pengembangan Kepariwisataan juga telah ditempuh untuk memberikan bebas visa bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, namun kunjungan wisatawan tidak terlalu naik signifikan yakni dari 638.901 orang (1983) menjadi sekitar 683.000 (1984).
Begitu juga jika dilihat dari perkembangan semester terakhir 2015 ini, atau setelah kebijakan bebas visa itu dilakukan melalui Perpres Nomor 69 Tahun 2015, buktinya tidak juga punya daya ungkit besar, sebab hingga 2015 kemungkinan jumlah kunjungan wisman hanya sekitar 10 juta tidak terlalu mengejutkan dibandingkan tahun 2014 yang jumlahnya 9,4 juta.